Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu

Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu

<a href="https://www.pshterate.com/"><img data-src="Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu.jpg" alt="Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu"></a>
Sebelum mempelajari dan membaca Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu ini, perlu ditegaskan bahwa ini bukanlah sebagai panduan perilaku atau hal lainnya. Hal ini adalah sebuah pemaparan mengenai naskah kuno yang terkenal dan banyak dipelajari oleh para lelaku spiritual.

Karya Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu

Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu adalah sebuah karya sastra yang dianggap sebagai salah satu naskah sastra Jawa klasik yang penting. Karya ini ditulis dalam bahasa Jawa dan merupakan salah satu contoh sastra Jawa yang memiliki nilai historis dan kebudayaan yang tinggi.
Meskipun penulis karya ini tidak diketahui secara pasti, Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu diyakini berasal dari abad ke-18. Karya ini menjadi bagian dari warisan budaya Indonesia dan merupakan salah satu karya sastra yang dihargai dalam tradisi sastra Jawa.
Dalam karya ini, pembaca akan dibawa ke dalam dunia mitologi dan alegori yang melibatkan berbagai tokoh yang mewakili berbagai aspek kehidupan manusia. Cerita ini menceritakan perjalanan seorang pahlawan yang berusaha mencapai kebijaksanaan dan kebaikan.
Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu mengandung pesan moral dan ajaran kebijaksanaan yang penting. Karya ini mengajarkan tentang nilai-nilai seperti kebaikan, kesetiaan, dan kebijaksanaan dalam menjalani kehidupan.
Dengan gaya penulisan yang khas, menggunakan bahasa Jawa klasik dan kosakata yang khas, Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu memberikan gambaran tentang kehidupan dan budaya masyarakat Jawa pada masa lalu. Karya ini menjadi saksi sejarah yang berharga dan penting untuk dipelajari dan dilestarikan sebagai bagian dari kekayaan sastra dan kebudayaan Indonesia.

Latar Belakang dan Konteks

Sejarah dan Kebudayaan pada Masa Penulisan Karya

Pada masa penulisan Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu, Indonesia telah mengalami perkembangan sejarah dan kebudayaan yang kaya. Karya ini diyakini berasal dari abad ke-18, yang merupakan periode di mana kebudayaan Jawa mencapai puncak kejayaannya.
Pada masa itu, Kerajaan Mataram Islam di Jawa Tengah menjadi pusat kebudayaan dan politik yang penting. Kerajaan tersebut memberikan pengaruh besar terhadap perkembangan sastra Jawa klasik, termasuk dalam penulisan Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu.
Selain itu, pada masa tersebut, agama Islam juga telah tersebar luas di Jawa, dan pengaruh agama ini juga tercermin dalam karya sastra tersebut. Karya ini mencerminkan perpaduan antara nilai-nilai budaya Jawa dan nilai-nilai Islam dalam penekanan pada kebijaksanaan dan kebaikan.

Pengaruh Budaya Jawa dalam Karya Ini

Karya Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu merupakan contoh yang jelas dari pengaruh budaya Jawa dalam sastra. Karya ini menggunakan bahasa Jawa klasik dan mengandung nilai-nilai yang dijunjung tinggi dalam masyarakat Jawa.
Budaya Jawa pada masa itu sangat dipengaruhi oleh konsep kehidupan yang harmonis antara manusia dan alam semesta. Konsep tersebut tercermin dalam karya ini melalui penggambaran tokoh-tokoh mitologis dan alegoris yang mewakili berbagai aspek kehidupan manusia.
Selain itu, nilai-nilai seperti kebaikan, kesetiaan, dan kebijaksanaan yang dianggap penting dalam masyarakat Jawa juga terdapat dalam karya ini. Hal ini menunjukkan betapa kuatnya pengaruh budaya Jawa dalam membentuk pesan moral dan ajaran kebijaksanaan yang terkandung dalam Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu.
Latar belakang sejarah dan budaya pada masa penulisan karya ini memberikan konteks yang penting dalam pemahaman dan penghargaan terhadap karya sastra ini. Mempelajari latar belakang dan konteks tersebut dapat membantu kita untuk lebih memahami nilai-nilai dan pesan yang ingin disampaikan dalam Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu.

Sinopsis

Gambaran Umum Cerita dan Tokoh-tokoh Utama

Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu mengisahkan perjalanan seorang pahlawan yang bernama Jendra. Jendra adalah seorang pemuda yang berjiwa mulia dan penuh keberanian. Ia berangkat dalam sebuah perjalanan untuk mencapai kebijaksanaan dan kebaikan yang lebih tinggi.
Dalam perjalanannya, Jendra bertemu dengan berbagai tokoh mitologis dan alegoris yang menjadi mentor dan pengajar baginya. Masing-masing tokoh ini mewakili aspek-aspek kehidupan manusia yang berbeda. Mereka memberikan Jendra pelajaran dan nasihat yang berharga untuk membimbingnya dalam perjalanan menuju pencerahan.

Plot Cerita dan Perjalanan Pahlawan

Cerita Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu mengikuti perjalanan Jendra dalam mencari kebijaksanaan dan kebaikan. Ia menghadapi berbagai rintangan dan ujian dalam perjalanan tersebut. Setiap ujian tersebut dirancang untuk menguji ketabahan, kesetiaan, dan kebijaksanaan Jendra.
Dalam perjalanan tersebut, Jendra menghadapi konflik internal dan eksternal. Ia dihadapkan pada godaan-godaan yang menguji kepercayaan dirinya, tetapi dengan tekad yang kuat, Jendra berhasil mengatasi setiap rintangan yang ada di hadapannya.
Melalui perjuangannya, Jendra belajar tentang pentingnya kebaikan, kebijaksanaan, dan kesetiaan. Ia menyadari bahwa kehidupan tidak selalu mudah, tetapi dengan memegang teguh nilai-nilai yang benar, ia dapat mencapai pencerahan dan memberikan manfaat bagi masyarakat di sekitarnya.
Perjalanan Jendra dalam Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu menggambarkan perjalanan spiritual dan pencarian akan kebijaksanaan sejati. Melalui cerita ini, pembaca diajak untuk merenungkan arti kehidupan dan nilai-nilai yang harus dijunjung tinggi dalam menjalani perjalanan hidup.

Begawan Wisrawa dan Dewi Sukesih

Dalam sebuah naskah kuno yang dikenal sebagai Ramayana, cerita berputar di sekitar seorang penguasa yang memilih untuk melepaskan takhtanya dan memberikannya kepada anaknya. Raja yang bernama Begawan Wisrawa memilih untuk mengundurkan diri dan menyerahkan tahta kepada putranya, Prabu Danareja, di kerajaan yang dikenal sebagai Lokapala.
Sementara itu, di sebuah negeri yang jauh bernama Alengka, pemerintahan dipegang oleh Prabu Sumali yang didukung oleh adiknya, Arya Jambumangli. Di tengah keadaan tersebut, seorang putri yang sangat cantik bernama Dewi Sukesih menjadi objek persaingan di antara para raja yang ingin memperistri dirinya.
Setiap raja yang berusaha untuk melamar Dewi Sukesih harus berhadapan dalam pertarungan satu lawan satu dengan pamannya, Arya Jambumangli. Sehingga, tak seorang pun dari para raja yang mampu mengalahkan paman Dewi Sukesih tersebut.
Hanya ada satu raja yang tersisa, yaitu putra dari Begawan Wisrawa, yaitu Prabu Danareja. Namun, kekuatan ilmu dan keahlian raja ini kalah jauh dibandingkan dengan pamanda Dewi Sukesih. Oleh karena itu, Begawan Wisrawa memutuskan untuk meninggalkan kehidupan pertapaannya dan terjun ke medan perang.
Hanya satu raja yang masih tersisa, yaitu Prabu Danareja, putera dari Begawan Wisrawa. Namun, sayangnya kekuatan ilmu raja ini terlalu lemah dan tidak mampu mengalahkan Dewi Sukesih yang menjadi tantangannya. Maka dari itu, Begawan Wisrawa memutuskan untuk meninggalkan kehidupan pertapaannya.
“Sungguh ada yang mengganjal dalam tapaku, aku merasakan kegelapan. Mengapa negeri kita yang kita cintai mengalami kesengsaraan? Air yang seharusnya memberi kehidupan kepada rakyat tidak lagi melimpah. Seluruh sumber air kembali tersembunyi di dalam samudera. Bunga-bunga layu sebelum bersemi, buah-buah belum matang terjatuh. Apa yang terjadi pada negeri kita ini, wahai anakku?” tanya Begawan Wisrawa.
“Wahai ayahku, cintaku kepada Dewi Sukesih telah merampas seluruh perhatian dan hidupku. Aku tidak dapat memikirkan tentang bangsa dan negeri ini. Yang ada di pikiranku hanya kecantikan Dewi Sukesih,” jawab Prabu Danareja.
“Wahai anakku, Dewa sangat marah padamu. Dengan asmaramu, engkau telah mematikan kesuburan negeri ini. Wahai anakku, jangan biarkan cinta mempengaruhi tugas besarmu. Cinta adalah dunia kecil yang dapat menghancurkan dunia yang besar,” kata Begawan Wisrawa.
“Wahai anakku, jangan biarkan perasaan asmaramu mengaburkan pandanganmu terhadap kebenaran di dunia ini. Ketinggian nilai-nilai akan tercemar dan kehilangan maknanya jika hanya dilihat melalui perasaan asmaramu. Akan tetapi, sebagai ayah, aku juga pernah merasakan asmara. Biarkan aku yang melamar dan mengambil Dewi Sukesih sebagai istriku. Ayahnya adalah sahabatku. Cintaku padamu, wahai anakku, memungkinkan aku sebagai ayahmu untuk pergi ke kerajaan Alengka.”
Setelah Begawan Wisrawa tiba di kerajaan Alengka, kebahagiaan dalam hati raja Alengka, Prabu Sumali, bersatu dengan hangat dalam pelukan sahabatnya.
“Wahai sahabatku Prabu Sumali, ada sesuatu yang mengganggu matamu, yang tak dapat kau sembunyikan,” tanya Begawan Wisrawa.
“Wahai sahabatku Begawan Wisrawa, karena anakku, darah para raja harus tercurah di negeri tercinta ini, Alengka.”
“Oleh karena itu, aku datang untuk melamar putrimu, atas nama anakku.”
Dewi Sukesih dipanggil oleh ayahnya, dan diberitahu bahwa ia akan dinikahkan dengan seorang raja dari kerajaan Lokapala.
“Wahai ayahku, aku bersedia menikah dengan seorang raja atau bahkan dengan seseorang yang miskin sekalipun. Asalkan mereka mampu memahami dan menerangkan Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu.”
“Wahai putri sahabatku, calon suamimu, anakku, tidak akan mampu melakukannya. Dan tidak ada yang akan mampu menerangkan Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu kecuali aku. Aku harus menebus makna ini dengan meninggalkan kekayaan dan kekuasaan sebagai seorang raja. Namun, demi anakku dan demi diriku sendiri, aku akan mewariskan pengetahuan Sastra Jendra kepada mereka,” kata Begawan Wisrawa kepada putri Prabu Sumali, sahabatnya.
Begawan Wisrawa juga berkata kepada sahabatnya, Prabu Sumali,
“Wahai sahabatku, aku akan membawa putrimu. Persiapkanlah tempat, sebuah taman yang sunyi dengan hanya bunga Kenanga.”
Maka Begawan Wisrawa membawa Dewi Sukesih. Saat mereka memasuki taman yang indah, Begawan Wisrawa memandang Dewi Sukesih dengan cinta seorang ayah kepada anaknya.
“Berdirilah di sini, putriku.” Pada saat itu, Dewi Sukesih merasa bahwa ia berada di dunia ini, dan seluruh dunia hanya terletak di telapak kaki Dewi Sukesih dan Begawan Wisrawa. Mereka mampu meraih bulan yang tidak hanya satu, melainkan tiga.
“Wahai Dewi Sukesih, engkau dapat menggenggam bulan. Keanggunan dan keindahan bulan selalu menghina dan merendahkan makna dunia yang fana. Namun di hadapanmu, wahai putriku, bulan menjadi tunduk. Cahayanya engkau ambil dan masukkan ke dalam jiwamu.”
Pada saat itu, Dewi Sukesih merasakan keretakan dalam hatinya. Rasa sakit tanpa sebab, seperti membenci seseorang yang tidak ada, merasa gelisah tanpa alasan yang jelas, dan marah tanpa mengetahui penyebabnya. Emosi bergolak dalam diri Dewi Sukesih!
“Wahai putriku, jangan biarkan gelombang emosimu menjadi penguasa di dalam dirimu. Bulan yang sombong menjadi tak berdaya karena engkau mengambil keindahannya dan mengembalikan energinya kepadanya. Wahai puteriku, engkau tidak mampu menerima keindahan bulan sepenuhnya, karena cahaya rembulan membuat bunga-bunga mekar dan binatang-binatang berpasangan. Dengan cahaya rembulan, kehidupan alam ini berkembang. Jangan kau simpan dalam jiwamu. Engkau adalah manusia yang hidup dan bernyawa. Jika kau menyimpan cahaya rembulan dalam jiwamu, berarti kau merampas hak hidup bagi hewan dan tumbuhan. Itulah permulaan dari Sastra Jendra, wahai puteriku.”
Maka dengan kekuatan batinnya, Dewi Sukesih mengusir luka di dalam hatinya, rasa sakit dalam perasaannya. Cahaya bulan yang redup, yang telah dicuri oleh Dewi Sukesih, kembali bersinar terang.
“Wahai puteriku,” kata Begawan Wisrawa, “Sastra Jendra bukanlah sekadar kata-kata, bukanlah hanya kalimat. Sastra Jendra adalah ‘sesuatu’ yang memiliki wujud, namun hadir di alam dunia ini. Ia ada di bumi ini, ada di cakrawala, dan ada di mana-mana. Namun, Sastra Jendra tidak mampu tertampung karena wadahnya belum ada.”
Setelah Begawan Wisrawa mengakhiri kata-katanya, mereka berangkat ke suatu tempat yang jauh, ke tempat yang sunyi dan menakutkan.
“Wahai Puteriku, jangan menjerit di sini, karena tidak ada siapa pun di sini. Tidak ada yang dapat dipanggil, tidak ada tempat untuk berpijak. Tidak ada masalah apa pun di sini.”
“Wahai puteriku, di sini kita tidak memiliki apa-apa, dan di sini kita tidak dimiliki. Dan di sini, engkau juga tidak lagi memiliki dirimu sendiri. Dirimu yang berdarah dan berdaging, dirimu yang memiliki jiwa dan perasaan, sekarang adalah ketiadaan,” kata Begawan Wisrawa.
“Kita berada dalam keadaan ketiadaan, rasakanlah, anakku, saat engkau kehilangan rasa memiliki, termasuk memiliki dirimu sendiri. Kita berada dalam kematian. Kematian adalah melepaskan rasa memiliki. Di balik kematian, sebenarnya terdapat kehidupan yang sejati. Kehidupan yang tidak dapat didefinisikan, kehidupan yang tidak dimulai dari awal dan tidak berakhir pada batasan tertentu. Itulah Jatining Hurip.”
“Wahai anakku, kematian sebenarnya adalah proses kehidupan yang lebih luas daripada proses kehidupan sebelumnya. Kita berada dalam kehidupan yang sejati. Tenang dan damai, karena kita merasa tidak memiliki dan tidak dimiliki,” kata Begawan Wisrawa.
“Wahai Puteriku, saat engkau merasa memiliki, engkau akan dipertanyakan atas kepemilikanmu. Dan saat engkau merasa dimiliki, engkau akan dipertanyakan oleh mereka yang merasa memiliki dirimu. Sekarang kita bebas, kebebasan batin dan perasaan tanpa batas.”
“Wahai Begawan, di mana para dewa?”
“Di sini tidak ada dewa, wahai Puteriku. Tidak ada dewa, hanya kita. Jika engkau memikirkan dewa, berarti kita masih ‘merasa’ ingin memiliki. Tidak ada dewa, hanya kita berdua.”
Maka Dewi Sukesih merasakan ketenangan dan kedamaian. Ketenangan yang sangat tinggi dan indah, kedamaian batin yang tak terbandingkan. Mereka pun melangkah lebih jauh lagi.
“Marilah kita melangkah lebih dalam ke angkasa ketenangan.”
“Kemana kita akan pergi? Bukankah kita sudah mencapai alam ketenangan, wahai Begawan?” tanya Dewi Sukesih.
“Belum, di atas ketenangan terdapat kedamaian, dan di atas kedamaian terdapat kemegahan kesejukan. Itu tak terbatas, wahai Puteriku.”
“Di mana letak puncaknya, wahai Begawan?”
“Puncaknya terdapat dalam cinta. Kita menuju cinta, wahai Dewi Sukesih.”
Maka mereka sampai pada suatu perbatasan. Mereka memasuki alam cinta.
“Anakku, kita memasuki Sastra Jendra. Tidak ada alam yang diciptakan oleh Illahi kecuali karena cinta. Manusia dan hewan takkan mungkin ada tanpa cinta. Alam semesta takkan tercipta tanpa cinta. Kita masuk, wahai anakku, ke dalam cinta. Itulah Sastra Jendra.”
Mereka memasuki alam cinta. [Dalam Islam, memasuki alam Ar-Rohman]. Dewi Sukesih memasuki alam cinta. Jiwa tidak lagi terbatas oleh ketenangan, tetapi melebihi ketenangan. Tidak lagi ada kata bahagia, nikmat, atau enak. Semuanya di atas segalanya.
Gelombang cinta membawa rambut Dewi Sukesih yang terikat. Rambutnya terurai, bergelombang dengan indah oleh kekuatan cinta. Cinta bisa dirasakan, tetapi tidak bisa dilihat. Cinta bisa dinikmati tanpa melalui kulit dan daging. Karena pada saat itu, Dewi Sukesih tidak lagi memiliki dirinya sendiri. Cinta yang sejati bisa dirasakan oleh sesuatu, ketika manusia kehilangan eksistensi fisik, eksistensi pikirannya, dan eksistensinya. Di dalam alam itu, mengalir sungai yang jernih. Sungai itu tak memiliki nama seperti sungai Eufrat, Nil, atau Ciliwung. Namun sungai itu jernih, mengalir membawa energi cinta dan kasih sayang.
“Wahai Puteriku, lihatlah sungai. Waktu tidak lagi bergerak, tetapi waktu bergerak bersama kita. Seperti sungai yang melepaskan airnya, ia tetap diam. Kita harus menggerakkan waktu, bukan kita yang digerakkan oleh waktu, wahai anakku. Sungai itu tetap diam, tetapi selalu baru. Kehidupan, wahai anakku, harus tetap baru. Usia mengendalikan kita, tetapi kita tetaplah yang baru, baik dalam jiwa maupun perasaan kita. Kita tidak boleh menjadi tua oleh waktu, kita harus tetap muda, meskipun waktu terus menghadang kita. Kekuatan cinta tidak tergerus oleh usia. Tua dan muda tidak mampu merusak kemurnian cinta itu sendiri,” kata Begawan kepada Dewi Sukesih.
“Namun demikian, sungai terus mengalir, tak pernah menanjak, wahai anakku. Perhatikanlah kehidupan. Kita tak perlu mencari hal-hal yang meningkat. Kita harus seperti sungai yang mengalir tanpa beban, berbelok-belok diapit oleh gunung. Biasa saja, kehidupan harus tetap mengalir, meski terhimpit oleh masalah yang menyerupai gunung yang menekan.”
“Wahai puteriku, jangan menyerah, tetaplah mengalir. Kehidupan tetaplah mengalir.” Maka mereka memasuki alam yang baru, yang lebih tinggi. Di sana mereka tak melihat masa lalu. Masa lalu tak ada!
“Wahai Begawan, di mana aku dilahirkan? Aku ketika remaja, saat bermain-main dengan Ayah dan Ibu?”
“Wahai Puteriku, masa lalumu tak ada di sini. Di sini tak ada masa lalu, tak ada perbedaan. Masa lalu adalah bagian kehidupan dunia. Di sini tak ada masa lalu.”
“Wahai Begawan, bagaimana dengan masa depanku?”
“Di sini tak ada masa depan. Masa depan adalah hal dunia, karena manusia dunia diciptakan untuk berharap, melihat ke masa depan. Dibangun oleh keinginan, maka melihat ke masa depan, terbentuk oleh rencana dan usaha. Di sini, Puteriku, tak ada masa depan. Tak ada lagi rencana dan keinginan tentang apa dan bagaimana. Di sini adalah keberadaan yang sejati. Bumi hanyalah bayangan kita dalam kehidupan. Itulah, Puteriku,” kata Begawan Wisrawa.
“Jika begitu, wahai Begawan, apa itu ‘kerinduan’? Aku merindukan masa depan yang lebih baik. Masa depan adalah kerinduan, tapi di mana kerinduan berada? Di tempat ini, tak ada, wahai Ayahku.”
“Wahai Puteriku, di sini tak ada kerinduan. Tapi kerinduan ada dalam bathin dan jiwamu. Kerinduan akan sesuatu, itu ada dalam jiwamu. Dan di dalam jiwamu, itu lebih besar, lebih agung, lebih hebat daripada alam ini, wahai anakku. Itulah Sastra Jendra. Sastra Jendra adalah kerinduan yang tersembunyi dalam bathin. Kerinduan bukan kepada anak atau pasangan, kerinduan bukan pada kekasih, kerinduan bukan terhadap harta atau kekuasaan. Kerinduan adalah terhadap sesuatu yang kita pun tak tahu. Itulah Sastra Jendra, wahai anakku.”
[Kerinduan ini dalam tradisi spiritual dikatakan sebagai kerinduan dalam kedalaman jiwa] Jiwa yang ada pada setiap individu yang dilahirkan ke dunia. Dalam ajaran spiritual, “Setiap individu yang dilahirkan memiliki fitrah batin, dan jika mereka mengikuti agama tertentu seperti Nasrani, Majusi, dan lain-lain, itu adalah karena pengaruh orang tua mereka yang salah.]
Fitrah batin/jiwa, itulah yang menjadi dasar bagi setiap manusia.
Maka, “Wahai Puteriku, jika engkau merindukan sesuatu, jangan mencarinya di sini. Di sini tak ada masa lalu dan masa depan. Di sini tak ada keinginan dan harapan. Kembalilah kepada jiwa, wahai Puteriku. Jiwa yang mengandung kerinduan.”
[Dalam ajaran spiritual, dikatakan, “Janganlah kamu terburu-buru dan bergegas, kembalilah kepada keberadaan yang sudah kamu rasakan dan kepada tempat-tempat kediamanmu yang sejati, agar kamu dipertanyakan.”]
“Kembalilah ke dalam jiwa, di sanalah terdapat kerinduan. Di sanalah terdapat kehidupan yang sejati, wahai Puteriku.”
Maka sang Dewi memasuki kedalaman jiwa dan perasaannya sendiri. Kemudian, ia disambut oleh cahaya yang gemilang, sinar yang begitu indah hingga melebihi kecerahan matahari. Dan seluruh cahaya matahari di alam semesta memudar, tak berarti apa-apa dibandingkan cahaya yang datang dari kedalaman jiwanya sendiri.
“Wahai Begawan, apa cahaya itu?”
“Itu adalah cahaya dari apa yang engkau rindukan. Itulah Sastra Jendra, wahai Puteriku.”
Ketika cahaya terpancar, terdapat Kebijaksanaan, kebijaksanaan yang tersembunyi, kebijaksanaan yang terpendam di dalam ribuan lapisan perasaan batin. Keberanian batin, ketulusan hati, dan keterimaan, semuanya membentang erat untuk menutupi Kebijaksanaan.
“Wahai Puteriku, bukalah hatimu dengan penuh ketulusan, Puteriku, bukalah hatimu dengan kebaikan, bukalah hatimu dengan ketulusanmu, maka akan muncul Kebijaksanaan. Kebijaksanaan terletak di tempat yang paling mendasar dari ketulusan yang terbuka. Buka hatimu yang baik.”
“Mengapa demikian, wahai Begawan?”
“Karena kebijaksanaan adalah tetes air dari rasa sakit yang tak lagi bisa menyebabkan luka. Dari rasa sakit yang tak lagi menimbulkan hujan kesedihan. Dari tetes kebahagiaan yang tak lagi mampu memberikan kegembiraan. Kegembiraan dan kesedihan, lenyap! Itulah kebijaksanaan, wahai Puteriku. Itulah Sastra Jendra.”
“Kebijaksanaan,” kata Sang Begawan, “Seperti malam yang menyelimuti siang, seperti siang yang berpadu dengan malam. Seperti kematian yang mengenakan jubah kehidupan. Seperti kehidupan yang diliputi oleh kematian. Rembulan di siang hari, matahari di malam hari, itulah kebijaksanaan. Itulah Sastra Jendra, wahai Puteriku.”
Sang Dewi tenggelam dalam lautan kebijaksanaan. Di dalam alam tersebut, sang Dewi merasakan rasa penderitaan yang tak terbatas. Rasa dukacita yang luar biasa. Namun, ketika tingkat penderitaan yang tinggi muncul dalam jiwanya, tiba-tiba, tanpa proses. Ketenangan…kegembiraan yang melonjak! ….Terus seperti itu! Antara sakit dan senang berubah secara tiba-tiba. Perubahan psikologis yang tak mampu menjelaskan perubahan yang begitu besar. Dari kesakitan ke kegembiraan, dari kesedihan ke ketenangan, dari kegelisahan ke kedamaian, secara tiba-tiba. Terus bergantian seperti itu.
“Wahai Begawan, apakah ini?”
“Inilah tangga menuju jagad raya yang tak berujung. Kita datang ke suatu tempat, Sumber Pencipta Alam Semesta ini. Anakku, tangganya terdiri dari lapisan-lapisan penderitaan yang tak terhingga dan kebahagiaan yang tak terhingga.” Sang Dewi pun memasuki.
Ketika jiwanya tidak terjebak oleh kesedihan dan kegembiraan, oleh perasaan dan ketenangan. Ia memasuki sebuah alam di mana di alam ini tidak ada lagi awal dan akhir dari kejadian. Tanpa proses permulaan dan akhir. Maka, sang Dewi merasa malu pada dirinya sendiri. Yang sebelumnya bangga dengan keindahannya, kini, sang Dewi malu pada dirinya sendiri dan malu pada alam, keadaan alam saat itu.
“Wahai Begawan, aku merasa malu pada diriku sendiri.”
“Wahai Puteriku, ketika engkau merasa malu pada dirimu sendiri, itu berarti engkau kembali kepada hakikat kehidupan. Ketika engkau merasa malu pada alam ini, sebenarnya engkau kembali pada asal usul kehidupan. Engkau berasal dari sini, wahai anakku, dilahirkan di dunia ini.”
“Aku juga merasa malu karena kurang pemahaman,” kata sang Dewi.
“Wahai Puteriku, pemahaman tentang malu adalah merasa malu terhadap Penciptamu. Pencipta kita hadir di sini, meskipun tak dapat kita lihat. Namun kita berada dalam genggaman Sang Pencipta Yang Maha Kuasa. Kita sedang berenang di lautan ilahi, wahai Puteriku.”
Tidak lama kemudian, Dewi Sukesih menemukan keindahan, keindahan sebuah permulaan. Di sini, segala sesuatu tidak lagi memerlukan pemahaman yang dipelajari.
Pemahaman tak perlu dipelajari, perasaan-perasaan tak lagi perlu dibentuk. Ia mencapai puncak keindahan yang tak tergantikan.
“Wahai anakku, kita telah mencapai puncak kebahagiaan. Tidak ada kebahagiaan lain selain di tempat ini, wahai anakku. Kebahagiaan ini tidak dapat diperoleh melalui ilmu. Kebahagiaan ini tidak dapat dipetik atau diperoleh melalui perbuatan yang mulia. Kebahagiaan ini tidak berasal dari pengorbanan. Itulah puncak kebahagiaan.”
“Wahai Begawan, jika kebahagiaan ini tidak berasal dari pengorbanan, apa itu?”
“Itulah ‘Hayuningrat’, anakku, Sastra Jendra Hayuningrat. Hayuningrat adalah kebahagiaan yang tidak bergantung pada keinginan untuk berbuat baik, tetapi Hayuningrat adalah ‘Izin Illahi’ dalam memberikan sesuatu. Bukan keinginan kita, bukan jerih payah kita, tetapi kehendak-Nya. Itulah Sastra Jendra Hayuningrat, wahai anakku.”
Hayuningrat adalah penyerahan diri yang total. Kebahagiaan yang meresap sepenuhnya ke dalam jiwa sang Dewi. Dengan itu, muncul kebahagiaan baru yang berlapis-lapis. Semakin tinggi, semakin indah. Ternyata kebahagiaan pun memiliki lapisan tak terhingga, kebahagiaan yang tiada batas.
Terus sang Dewi berusaha untuk melupakan hal-hal duniawi. Ia merasa bahwa dunia terlalu rendah, dan niat baiknya sering kali dicemarkan.
“Wahai Begawan, semua keinginan baik selalu terhalangi oleh kebusukan dunia. Aku enggan kembali ke bumi. Setiap pengorbanan yang kusajikan dengan tulus hati, selalu dihina oleh mereka yang hidup di dunia. Wahai Begawan, setiap rasa cinta dan kepedulian dalam hatiku kutunjukkan kepada rakyat, kepada mereka yang aku kasihi. Namun mereka tak pernah melihat bahwa aku menyuguhkan keindahan dan ketulusan kepada mereka. Aku merasa jijik dengan dunia yang dipenuhi oleh kehinaan dan kekotoran.”
“Wahai Dewi Sukesih, Puteriku, jangan biarkan perasaan itu menguasaimu. Usirlah rasa menghina bumi. Karena bumi juga diciptakan oleh Tuhan, dan menghina dunia atau bumi adalah sama dengan menghina Tuhan. Hentikanlah gejolak penjelajahan perasaan seperti itu. Kita masih berada di dua alam sekaligus. Terikat dengan bumi dan menjelajahi hak kita di alam semesta ini.”
Namun Dewi Sukesih, dengan kegigihan yang tak tergoyahkan, tetap memilih untuk terus menjelajah. Ia enggan kembali ke dunia. Tiba-tiba, gelombang kegelisahan kembali datang. Kekelisahan tersebut bukan berasal dari keindahan alam ini. Surga Nirwana yang penuh kenikmatan, dengan segala keindahan dan kesempurnaannya, tidaklah menjadi sumber kegelisahan dan kepedihan dalam dirinya. Rasa resah, merasa kotor, merasa terhina, dan tercemar datang dari dalam dirinya sendiri.
“Wahai Begawan, aku merasa malu. Bukan lagi malu seperti sebelumnya, melainkan malu akan kehinaan diriku sendiri. Aku merasa kotor di tempat ini, aku tidak pantas berada di tempat yang suci ini, wahai Begawan. Aku tidak pantas berada di tempat yang agung ini, karena aku telah menciptakan noda itu sendiri, wahai Begawan. Mengapa hal ini terjadi, wahai Begawan?”
“Wahai Puteriku, kita, engkau dan aku, memang berasal dari noda dan berangkat dari noda. Kita memasukkan dunia kesalahan ke dalam diri kita, meskipun berada di tengah-tengah surga yang indah ini,” ujar Begawan Wisrawa. “Oleh karena itu, Puteriku, engkau harus menjalani proses ‘diruwat’, agar Tuhan dapat membersihkan jagad kita yang tercemar. Pangruwating. Karena di dalam jiwa kita terdapat nafsu dan kemarahan yang berlimpah.”
Maraklah kemarahan yang tidak terpadamkan, keserakahan yang tak lagi berwujud. Itu harus disucikan oleh Yang Ilahi. Jagad kita perlu dibersihkan, karena kita tetap terjerumus dalam kekotoran, meskipun kita berada di tengah-tengah jagad yang begitu indah, suci, dan agung,” lanjut Begawan Wisrawa menjelaskan.
“Marilah kita kembali, Sastra Jendra telah kami jalani, Hayuningrat telah kami jalani. Kita harus kembali ke bumi, segera! Agar Hyang Widhi dapat membersihkan jagad kita yang telah tercemar dalam kekotoran dan noda.”
Namun, karena keindahan yang luar biasa itu, Dewi Sukesih terhanyut bersama Begawan Wisrawa, hingga mencapai gerbang Kahyangan, pintu menuju surga, pintu menuju Nirwana, tempat para dewa bersemayam. Gerbang ini dikenal sebagai Sela Menangkep (dalam Islam, gerbang Ar-Royan), pintu masuk surga. Saat mendekati gerbang Sela Menangkep, jagad itu bergoyang. Terdengar jeritan-jeritan Raksasa. Berjuta raksasa datang, hawa nafsu membentuk jutaan raksasa. Aroma yang menyengat. Aroma kematian. Lebih busuk dari bau mayat yang basah. Erangan harimau raksasa. Kemarahan para raksasa bergelora.
“Wahai Dewi Sukesih, raksasa itu tidak ada dalam jagad ini, tidak di gerbang Kahyangan ini. Mereka ada dalam jagadmu. Keindahan wajahmu, erangan harimau. Sebenarnya, kecantikan itu seperti harimau. Senyummu adalah erangan harimau, keindahan tubuhmu adalah raksasa yang buruk rupa. Kemarahan mereka, sebenarnya adalah kemarahanmu, wahai Dewi Sukesih, yang ada di jagad ini. Dan bau yang lebih busuk dari bau mayat yang basah, itu berasal dari hatimu sendiri. Karena manusia tidak mampu membebaskan diri dari persaingan dengan sesamanya, tidak mau melepaskan diri dari belenggu kebencian. Perbedaan dalam kebenaran, meskipun itu kebenaran yang sama, tetap menimbulkan kebencian. Itulah aroma yang sangat busuk, aroma dari mayat yang membusuk, wahai Dewi Sukesih. Dan kau masih memilikinya.”
Dan tiba-tiba, muncullah roh-roh halus, lembut, merekah dengan aroma yang sangat harum, melebihi segala jenis wangi. Mereka mengenakan pakaian putih permata, berbusana dengan keputihan yang murni.
“Itu tidak ada dalam jagad ini, itu ada dalam jagadmu, wahai Dewi Sukesih. Itu adalah keabadianmu, kesucianmu, kelembutanmu. Engkau memancarkan keanggunan dari keabadian yang suci.”
Dan tiba-tiba terjadi pertempuran antara raksasa jahat dan keabadian yang suci. Pertempuran itu berlangsung tanpa ada yang menang, tanpa ada yang kalah. Keabadian yang suci dikalahkan oleh raksasa jahat, namun seketika itu juga keabadian yang suci bangkit kembali. Begitu juga sebaliknya. Maka pertempuran tidak lagi ditentukan oleh kemenangan atau diakhiri oleh kekalahan.
“Wahai anakku, itulah sifat dunia. Tidak ada yang menang dan tidak ada yang kalah. Segeralah kembali ke kehidupan dunia, wahai Puteriku.”
Maka keabadian yang halus dan raksasa jahat menghilang, yang tersisa adalah kedamaian di dalam hatinya. Kemudian muncullah kekuatan dalam bentuk sinar yang memancar dari dada Dewi Sukesih.
“Puteriku, itulah Kencana Rukmi. Di antara keinginan untuk menang dan rasa takut akan kalah, ada sesuatu yang netral. Sesuatu yang tidak ingin menang dan tidak ingin kalah. Itulah Kencana Rukmi di dalam dirimu. Kencana Rukmi adalah tempat yang aman, tempat yang paling menyelamatkan. Di sini, di Kahyangan, engkau akan merasa tenang dan aman. Dan di bumi, dengan Kencana Rukmi ini, kamu akan selamat.”
[Dalam Islam, Kencana Rukmi dapat diartikan sebagai petunjuk, bimbingan, pencerahan, dan kepastian]. Kencana Rukmi, menghilangkan kegelisahan di tengah malam, memecahkan kegelapan jiwa. Kencana Rukmi menghapus harapan-harapan palsu dari harapan kosong tentang kesenangan duniawi. Kencana Rukmi membenarkan kebenaran yang sejati dan mengecam kebenaran semu. Karena Kencana Rukmi, seperti sinar yang berasal dari sumber Ilahi, menerobos hingga ke dasar bumi.
“Ikutilah, wahai Puteriku, cahaya itu. Kencana Rukmi adalah alat untuk menjelajahi kehidupan. Cahaya dari Tuhan, cahaya Ilahi yang mencapai kedalaman hati.” [Dalam Islam, Ihdinas shirothol Mustaqim].
Begawan Wisrawa dan Dewi Sukesih semakin tinggi, mengarungi tingkatan kebahagiaan yang tak terkira, melampaui ketenangan dan kedamaian. Makna ketenangan dan kedamaian itu adalah “sela” atau batasan kecil dari rasa aman di dunia ini. Namun, di jagad ini, di perbatasan alam Kahyangan, keduanya terhanyut oleh keindahan alam kebahagiaan. Di alam kebahagiaan ini terdapat kenikmatan yang tak terbatas, meskipun masih belum tersentuh oleh energi Ilahi. Dengan demikian, Kahyangan atau surga adalah jagad kebahagiaan yang memancarkan energi Ilahi.
“Wahai Dewi Sukesih,” kata Begawan Wisrawa, “Kita harus kembali ke bumi dengan segera.”
“Mengapa begitu, wahai Begawan?” tanya Dewi Sukesih.
“Karena kita masih memiliki tubuh. Di sini, di alam Kesucian, tidak ada sarana untuk menyucikan tubuh kita. Dan alam ini tidak mampu menyucikan jagad kotor yang kita simpan dalam jiwa kita. Meskipun dunia ini penuh dengan noda, di bumi ada tempat untuk penyucian, tempat untuk membersihkan.”
“Namun, Begawan, saya tidak bisa menahan kerinduan yang begitu kuat terhadap sesuatu yang ada di balik Kahyangan. Kita harus masuk ke pintu Kahyangan,” kata Dewi Sukesih.
“Apakah, wahai Begawan, yang menarik jiwa ini untuk masuk ke Kahyangan? Pikiranku tidak merindukan kenikmatan surgawi. Tidak merindukan kenikmatan Kahyangan. Namun, hatiku merindukan Sang Pencipta Kahyangan itu sendiri. Apakah itu, wahai Begawan?”
“Itu adalah ‘Budi’,” jawab Begawan Wisrawa, “Budi yang ada dalam jiwa kita, yang tersembunyi, karena Budi berasal dari Ilahi. Oleh karena itu, ia meronta, bergerak, selalu menuju sumber Ilahi.”
Ketika mendekati Sela Menangkep, pintu Ar-Royan, pintu surga terbuka, dengan kegembiraan yang tak terhingga, Dewi Sukesih masuk. Meskipun Begawan menyarankan untuk kembali, Begawan itu sendiri terhanyut dan ingin masuk ke pintu Kahyangan. Akibatnya, bumi gemetar, matahari berubah, alam semesta menjadi kacau! Samudra bergemuruh, banyak permukaan bumi tergenang oleh air laut. Daratan berubah menjadi lautan. Raksasa-rajsasa yang sebelumnya gagah berani, menangis pilu. Rukh jahat meringis kesakitan, meronta, memanggil Hyang Widhi. Mereka memanggil Tuhannya. Kemudian, raksasa-raksasa dalam jagad Dewi pun keluar dan masuk ke Kahyangan, menghalangi pintu-pintu Surga.
“Wahai manusia, belum tiba saatnya engkau meninggalkan dunia. Sayangilah bumi yang engkau hinakan, sayangilah bumi yang engkau injak-injak, sayangilah bumi yang engkau hina.” kata raksasa-raksasa dan rukh-rukh jahat yang lainnya.
Para Dewa menjadi gelisah!
Oleh karena itu, Batara Guru memanggil para Dewa, Batara, dan Bidadari untuk berkumpul. “Jagad kita, jagad Nirwana ini mulai terancam,” kata Batara Guru. “Ada dua manusia yang mencoba memasuki tempat ini melalui tangga-tangga Sastra Jendra Hayuningrat. Kita harus menutup pintu masuk ini, karena belum saatnya bagi mereka untuk memasuki Indra Prastha yang kita cintai ini.”
“Wahai Batara Guru, siapa yang datang?” tanya Batara Narada.
“Dua manusia, seorang perempuan dan seorang laki-laki,” jawab Batara Guru.
“Wahai Batara Guru, kita tidak perlu khawatir. Tempat kita, Kahyangan ini, tidak bisa dijangkau oleh manusia dalam wujud perempuan dan laki-laki. Di sini tidak ada pemisahan gender, jadi tidak perlu khawatir. Dua manusia itu belum saatnya memasuki Kahyangan,” lanjut Batara Narada, “Meskipun mereka telah memasuki Sastra Jendra, tetapi dalam lubuk hati mereka masih merindukan dosa dan noda. Meskipun mereka telah meredam kerinduan itu sendiri.”
“Wahai isteriku,” kata Batara Guru kepada istrinya, Betari Uma, “Apa pendapatmu tentang dua orang yang mencoba memasuki Kahyangan ini?”
“Wahai suamiku, meskipun aku seorang wanita, di sini aku telah melepaskan identitas feminin. Kewanitaanku telah kukorbankan dalam perjalanan panjang Sastra Jendra. Di hadapanmu, aku bukan lagi sekadar seorang wanita, tetapi aku menjadi sumber kehidupan yang mula-mula,” jawab Betari Uma.
“Bagaimana dengan Dewi Sukesih yang mencoba memasuki Kahyangan ini?”
“Biarkanlah, dia masih membawa keangkuhan seorang wanita, begitu pula sang Begawan yang masih membawa keangkuhan seorang pria. Bukankah Nirwana ini dijaga oleh keangkuhan perempuan dan keangkuhan laki-laki? Seperti aku, wahai suamiku. Ketika aku pernah berada di bumi,” lanjut Betari Uma, “Seorang wanita di puncak keanggunannya, di puncak kesuciannya. Taman bunga ada dalam jiwanya, taman bunga ada dalam dagingnya, taman bunga ada dalam perasaannya. Namun bunga Menur dicuri oleh laki-laki. Wanita tidak merasa bahwa kesuciannya dicuri oleh laki-laki. Bunga Menur, aku pun dicuri oleh laki-laki saat berada di bumi. Namun, aku tidak mampu, tidak bisa merampas bunga Menur. Karena keperawanan hanya ada satu kali, bukan dua kali. Keperawananku dicuri oleh laki-laki. Seperti seorang gadis yang tidak menyadari bahwa bunganya telah dicuri dari taman hatinya. Ego wanita membuatnya merasa bahwa kesuciannya tidak dicuri. Karena rasa ego wanita, dia harus memberikan dirinya kepada suaminya. Itulah cinta yang aku rasakan sebagai penduduk bumi, wahai suamiku.”
“Terdapat pula seorang lelaki, wahai isteriku,” ujar Batara Guru, “Setelah mencuri bunga Menur dari taman hati seorang wanita, seperti seekor lebah yang kehilangan sengatnya. Jangan berharap mereka bisa menikmati Surga, karena bibir mereka tak berada, [Hal ini menjadi catatan dari peristiwa ‘Tragedi qolbi’]. Lelaki datang ke Surga untuk menikmati kelezatan surga, seperti seekor kupu-kupu yang datang pada bunga raksasa yang penuh dengan nektar, tetapi tak memiliki cara untuk mengisapnya. Karena isapannya hanya satu, yaitu mencuri bunga Menur dari taman hati seorang gadis.”
“Dimana letak Sastra Jendra, wahai suamiku? Ketika seorang wanita kehilangan bunga Menurnya, dan ketika lelaki kehilangan sengatnya?” tanya isteri Batara Guru.
“Sastra Jendra tetap ada,” jawab Batara Guru, “Menunggu hingga mereka memahami mengapa bunga Menur hilang dan mengapa sengat itu hilang. Kesempatan untuk mencapai Sastra Jendra tidak akan pernah berakhir, wahai isteriku.”
Kemudian, semua makhluk di alam semesta datang berbondong-bondong. Di antara mereka ada Warudoyong, Pocong, Singabarong, Jerangkong (roh-roh yang belum sempat memiliki fisik).
Warudoyong adalah roh yang merindukan kehadiran fisik untuk makan dan tidur.
Singabarong, membutuhkan fisik untuk menyatakan cintanya, untuk menyatakan kebencian.
Pocong adalah bentuk roh yang menginginkan fisik, daging, dan darah agar kelaminnya dapat berkembang biak, untuk menikmati kenikmatan seksual. Mereka merasakan sensualitas, tetapi tak memiliki kelamin karena tak berfisik.
Jerangkong, membutuhkan fisik agar dapat menyayangi, membunuh, dan menyiksa sesamanya.
Ada juga roh-roh marakayangan, yang pernah hidup di dunia, namun kematian mereka masih membawa nafsu yang sempurna.
Brakasaan, Banaspati, Gandarwa, serta semua roh baik yang tak berfisik, yang pernah memiliki fisik, roh-roh marakayangan, dewa-dewa dan jin-jin, berkumpul. Mereka melakukan demonstrasi!
“Wahai Dewa Agung Batara Guru, jangan biarkan kedua manusia ini masuk, karena jika mereka masuk, dunia akan hancur. Kami belum siap memiliki daging dan darah, wahai Dewa Batara,” kata roh-roh yang belum memiliki fisik.
“Wahai Dewa Agung, jangan biarkan kedua manusia ini masuk, karena aku masih ingin dilahirkan kembali ke dunia. Meskipun sudah hidup di dunia, aku tidak pernah bosan bermain dengan darah dan daging. Itu adalah kenikmatanku,” ucap roh-roh marakayangan.
Maka, darah-darah itu mengalir, darah dengan aroma yang busuk, hitam, dan kelam berbicara, “Wahai Dewa, kami adalah tetesan dosa, kami menangis. Meskipun dunia tidak hancur, manusia kehilangan kerinduan kepada kami. Bukankah, wahai Dewa, kerinduan seksual adalah menghisap darah, dan kerinduan akan kelamin adalah simpanan darah? Bukankah memakan harta orang lain adalah mengisap darah, dan mengkhianati orang lain adalah berenang dalam darah? Kami adalah darah-darah yang masih memiliki hak untuk mengalir di bumi. Jangan biarkan darah tidak lagi dirindukan oleh penduduk bumi.”
“Wahai Kakanda,” ucap Batara Guru kepada Batara Narada, “
Bagaimana kita bisa menghentikan mereka agar tidak masuk ke kahyangan ini?”
“Wahai Dindaku, Jagad Kahyangan ini akan mengusir mereka yang masih terikat oleh perasaan gender laki-laki dan perasaan gender perempuan. Memang mereka telah terbebas dari rasa kepemilikan dan rasa dimiliki oleh siapa pun dan apa pun. Namun, mereka dipisahkan oleh rasa kesucian dari Sukesih dan rasa ketenangan dari sang Begawan Wisrawa. Dindaku, coba mereka. Apakah mereka benar-benar telah melepaskan batasan-batasan kerinduan untuk melakukan dosa lagi. Turunlah (ikutlah) dalam salah satu pergantian,” kata Batara Narada.
Maka, Batara Guru masuk ke dalam diri Dewi Sukesih, memasuki alam jiwa yang paling dalam. Batara Guru tidak memasuki jagad pikiran dan jagad rohnya, karena jagad pikiran adalah dunia manusia dan jagad roh hanya dimiliki oleh Sang Hyang Wenang, Allah subhanahu wa ta’ala [mengenai janji roh kepada Allah swt, QS 7:172 ‘Wa idz akhadzna robbuka min banii adama, qolu balaa syahidna’].
Ketika memasuki pusat jiwa yang paling dalam dari Dewi Sukesih, timbullah perasaan tertentu dalam dirinya. Di puncak kesucian jagad perbatasan Kahyangan, Keagungan dan Kesucian bersatu dengan keagungan dari Begawan Wisrawa. Dalam pandangan Dewi Sukesih, terlihatlah kegagahan, keagungan, dan keindahan akhlak yang dipancarkan oleh sang Begawan. Hal ini menimbulkan kekaguman yang sangat dalam dalam hati Dewi sebagai seorang wanita.
Keagungan jagad Nirwana yang suci memberi sentuhan dari keagungan sikap Begawan Wisrawa. Maka terlihatlah seperti Dewa Batara Kamajaya, simbol kesempurnaan seorang lelaki (seperti nabi Yusuf as dalam Islam). Muncul cinta asmara yang begitu kuat terhadap sang Begawan, cinta dari seorang anak kepada seorang Bapak, lenyap! Yang ada hanyalah cinta seorang wanita kepada seorang pria. Gelombang perasaan ini tidak bisa diungkapkan dengan kuat.
“Wahai Begawan, Aku mencintaimu. Betapa engkau memikatkanku, betapa indahnya alam ini dan betapa bahagianya jiwa ini. Sentuhlah kulitku ini, wahai Begawan.” Sang Begawan pun terkejut!
“Dewi Sukesih, anakku tercinta! … Aku datang untuk anakku, Danareja. Oh, Dewi Sukesih, mengapa pipimu yang merah dan indah harus tergores oleh bara neraka? Mengapa mata-mu yang hitam harus terlumuri oleh abu neraka? Kulitmu yang halus, mengapa harus terhimpit oleh awan nafsu yang membutakan? Mereka memancarkan sinar keinginan yang salah pada tubuhmu yang cantik.”
Ketika Begawan Wisrawa mengucapkan kata-kata tersebut, Dewi Sukesih kembali ke kehidupan yang suci.
“Maafkan aku, Begawan … Maafkan aku, Raja Dewa. Aku tidak mengerti mengapa perasaan seperti itu muncul. Aku menyadari bahwa aku belum layak untuk memasuki Nirwana yang suci,” sang Dewi berkata dengan terbata-bata.
Ketika kesadaran akan kesuciannya muncul, Batara Guru terlempar dari dunia jiwa Dewi Sukesih yang tersembunyi. Ternyata kekuatan yang dipancarkan oleh kesucian batin lebih kuat dan luar biasa daripada segala jenis ilmu dan keahlian. Bahkan Batara Guru, seorang Dewa, dapat terlempar! Dalam keadaannya yang terlempar, Batara Guru berbicara kepada kakandanya, Batara Narada, dari jarak yang jauh.
“Wahai Kakanda, betapa luar biasa kekuatan yang terdapat dalam kesadaran yang tinggi dari dunia batin Dewi Sukesih. Sungguh layak baginya menjadi bidadari Surgawi. Dewi Sukesih pantas menjadi ratu dari segala bidadari.”
“Benar sekali, wahai Dindaku,” kata Batara Narada, “Dewi Sukesih lebih cantik daripada semua bidadari yang ada di Surga. Ketika manusia di bumi mampu mencapai ketinggian moral yang melampaui kecantikan dan keindahan penghuni Surga itu sendiri, itu adalah prestasi yang luar biasa. Saat seseorang mencapai tingkat keikhlasan yang suci, kesucian dalam penerimaan, dan kesucian dalam cinta yang tulus, itu adalah tingkatan yang lebih tinggi dari Nirwana dan Surga itu sendiri,” jelas Batara Narada.
Cinta yang dirasakan sang Begawan sebagai seorang ayah ternyata telah menyelamatkannya dari godaan cinta asmara. Dan ternyata, ketika cinta antara suami dan istri melahirkan seorang anak, itu seharusnya “memperkuat” cinta yang ada. Sehingga saat-saat krisis datang, terutama saat dihadapkan pada badai cinta dari pihak ketiga atau saat kejenuhan merasuki jiwa masing-masing, cinta untuk anak adalah kekuatan besar dalam menghadapi semua itu.
Ternyata sang Dewa Batara Guru, dalam kedudukan ilahi-Nya, sangat menghormati kebersihan batin yang dimiliki oleh manusia.”
“Namun, wahai Dindaku, apakah engkau melupakan bahwa Dewi Sukesih datang ke tempat ini dengan tujuan mencari calon suami? Meskipun ia telah mencapai puncak kesucian dan nilai dalam Sastra Jendra, tetapi misinya tetap mencari suami. Perhatikanlah hubungan antara pencarian suami dengan kesucian Sastra Jendra. Jika hal itu terjadi, Dewi Sukesih akan terikat kembali oleh kelemahannya, ditarik ke bumi oleh daya tariknya. Sekarang, cobalah masuk lagi ke dalam Begawan Wisrawa, masuk ke pusat kelelakiannya yang perkasa, keanggunan maskulinitasnya. Tampilkanlah sisi maskulinitasnya, ‘lelanang ing jagad mandra guna wiwaha’. Meskipun engkau tidak merasa memiliki, namun engkau mampu menghadirkan ‘lelanang jagad’ di dalam jagad kelelakian Begawan Wisrawa.”
Lalu, Batara Guru memasuki alam batin Begawan Wisrawa, masuk ke dalam pusat kelelakiannya yang perkasa, keanggunan maskulinitasnya. Batara Guru terpesona melihat ketulusan dan kemurahan hati sang Begawan. Ternyata sang Begawan dengan sukarela memperlihatkan kekuatan batinnya, karena ia mampu meninggalkan kesombongannya sebagai seorang raja, meninggalkan kekuasaannya atas rakyatnya, meninggalkan istri ratunya, dan meninggalkan naluri seksualnya.
Betapa Batara Guru terpesona, terpesona oleh keindahannya! Jagad Kahyangan adalah dunia yang penuh dengan pesona nan memukau, namun ternyata jagad batin sang Begawan lebih memikat, lebih anggun.
Kagumnya Batara Guru diketahui oleh kakandanya, Batara Narada. “Wahai Dindaku, mengapa engkau begitu terpesona? Di jagad kita, tidak ada pesona keindahan seperti itu. Jagad itu berada di atas jagad Kahyangan ini. Jagad itu sangat dekat dengan Sang Hyang Wenang, sangat dekat dengan Yang Maha Esa, Tuhan kita semua. Jagad batin yang ada dalam hati sang Begawan adalah jagad tertinggi dari surga. Jagad Ilahi.”
“Wahai Kakanda, bagaimana caranya aku menggoda sang Begawan?”
“Engkau begitu terpesona sehingga engkau lupa, wahai Dindaku. Kau lupa bahwa jagad itu termanifestasi dalam daging sang Begawan Wisrawa. Cobalah memunculkan jagad dagingnya, jagad diyu-nya,” jawab Batara Narada.
Ketika jagad daging sang Begawan muncul, saraf-sarafnya bergetar, dan perasaan aneh timbul dalam dirinya. Terlihatlah kecantikan dan keelokan Dewi Sukesih semakin mempesona. Kehadiran Dewi Sukesih menambah keindahan jagad suci Kahyangan. Pesona Kahyangan semakin memukau dengan wajah dan tubuh yang memikat Dewi Sukesih. Perasaan yang tak terkendali terungkap. Yang biasanya diucapkan sebagai “wahai anakku,” kini berubah menjadi “wahai dindaku.”
Dewi Sukesih tersentak, terkejut!
“Wahai Dindaku, mengapa kita tidak bersatu? Bersatu dalam jiwa, bersatu dalam perasaan, bersatu dalam batin. Bersatu dalam dunia pikiran dan dunia fisik kita. Agar engkau bisa menyalurkan darah yang indah dari rahimmu, agar dunia menjadi lebih indah dengan darah-darah yang elok. Mari kita lewati malam pertama pernikahan ini, agar pernikahan manusia di dunia ini terasa semakin indah. Dan menjadi impian tertinggi dari harapan kehidupan dunia.”
“Wahai Begawan, aku melihat di matamu yang teduh, keluarlah kegelapan yang ada dalam nafsu semua manusia. Mengapa engkau mengambil beban semua nafsu manusia di bumi? Meskipun dikatakan tak bisa dihina, wahai Begawan, meskipun engkau berhasil menghindari menghina dunia, namun engkau mengemban beban nafsu gelap semua manusia di jagad bumi. Mengapa engkau mengisi kegelapan itu dengan birahi? Padahal engkau telah mampu memadamkannya. Dan engkau telah membawa api birahi dari bumi, padahal aku tidak melihatmu mengambilnya dari sana. Mengapa begitu, wahai Begawan?”
Sadarlah sang Begawan.
“Wahai Maha Dewa yang bersemayam di Kahyangan, betapa aku masih menyimpan rasa manusiawi, aku tidak layak menjadi penghuni Kahyangan. Izinkanlah aku dan Dewi Sukesih untuk segera kembali ke bumi, agar kami tidak terperangkap oleh sisa-sisa kemanusiaan kami, yang ternyata masih kuat, berkuasa di dalam jiwa kami.”
Saat kesucian muncul dari sang Begawan, Batara Guruh terlempar jauh. Tidak hanya keluar dari batin sang Begawan, tetapi jatuh ke hadapan Batara Narada di Kahyangan. Ternyata ada kekuatan dahsyat dari miniatur Surga yang terdapat dalam batin sang Begawan.
“Wahai Dindaku, ternyata engkau masih kalah oleh kekuatan manusia bumi yang misterius,” ucap Batara Narada, yang terlihat terkejut di wajahnya.
“Mengapa demikian, Kakanda?”
“Karena Sang Hyang Wenang Hing Murbeng Agung, pencipta kita. Meskipun murka terhadap penduduk bumi (dampak tragedi qolbi yang luas), namun masih menyimpan kekuasaan-Nya yang tersembunyi dalam nurani manusia. Yang tidak diberikan kepada kita.”
“Jika begitu, Kakanda, Sang Begawan sangat pantas menjadi penghuni Kahyangan ini.”
“Lebih dari sekadar pantas,” jawab Batara Narada, “Lebih dari kita para Dewa, lebih dari para Bidadari. Kita menjadi penghuni Nirwana ini karena takdir Ilahi, walaupun kita menolak, kita tetap menjadi penghuni Kahyangan ini. Namun, jika sang Begawan menjadi penghuni di sini, itu terjadi karena perjuangan makhluk tertentu. Makhluk yang terlahir tanpa derajat, namun mampu mencapai derajat itu. Itu adalah bagian dari pengembangan sisi lain Kekuatan Ilahi.”
“Jadi, berarti Sastra Jendra Hayuningrat bukan milik kita,” kata Batara Guru.
“Benar, kita tidak memiliki Sastra Jendra, meskipun Kahyangan ini adalah hasil dari Sastra Jendra Hayuningrat. Sastra Jendra Hayuningrat adalah milik Hyang Widhi, milik Ilahi, yang hanya diberikan kepada penduduk bumi yang mampu meningkatkan derajat dirinya. Baiklah, dinda Batara Guru, sekarang engkau bersatu dengan pasanganmu, Betari Uma. Jalinlah cinta kalian melalui wujud fisik kedua manusia itu. Engkau tidak boleh lagi terpesona oleh alam jagad batin mereka. Kembalikan segera fokus ke dunia manusia. Sebagai Dewa, kita memiliki hak dari Yang Maha Agung untuk membangun ‘kehidupan’ di dalam diri manusia.”
Batara Guru memanggil isterinya, Betari Uma. “Wahai kekasihku, kita akan bersatu melalui perwujudan dari kedua insan ini.”
“Wahai Kakanda,” kata Batari Uma, “Bukankah kita bisa saling berdampingan di Surga ini tanpa perlu menyatu secara fisik? Bukankah keindahan kenikmatan Ilahi bisa kita rasakan tanpa melalui hubungan seksual? Lagipula, kita tidak lagi memiliki bentuk fisik, mengapa harus menggunakan bentuk fisik mereka? Bukankah kita akan melanggar kesucian yang telah kita junjung selama ini?”
Ingatlah akan kemurkaan Allah swt, saat tragedi qolbi terjadi, di mana penciptaan alam semesta dan isinya, melalui proses evolusi (Yaa-Siin), terbentuk melalui penciptaan “alat kelamin”. Sementara itu, jasad Adam dikembalikan ke Sidrah sebagai Atma. (Proses pengusiran Adam dari Surga)
“Duhai Dindaku, ini adalah demi kesucian Nirwana. Jangan biarkan kita terpengaruh oleh darah dan daging kedua manusia ini. Kita harus mengusir mereka melalui hubungan kita sendiri.”
Maka adentrasi Batara Guru dan Betari Uma ke dalam alam batin Begawan Wisrawa dan Dewi Sukesih. Batara Guru menjelajahi ranah perasaan yang dalam sang Begawan, sementara Betari Uma menelusuri dimensi feminin dalam Dewi Sukesih. Begitu mereka menyelami dunia manusiawi keduanya, semua syaraf dan indra mereka bergetar, memunculkan sensasi yang tak terkendali bagi kedua individu ini.
Tanggapan pertama muncul dari jiwa, pikiran, dan fisik Begawan Wisrawa. Dirasakan olehnya, ia merasa seperti melaju di padang yang tak berujung. Ia sendiri menjadi seekor kuda jantan yang perkasa, berlari dengan bangga. Energi birahi sang pria membuat semua saraf dan pori tubuh meregang. Tubuhnya yang kaku dan otot-otot yang tegap mencerminkan kegelisahan dalam alam pikiran, alam batinnya. Rasa gelisah menghimpit! Birahi yang melanda semakin meregang tubuhnya, semakin kuat pula gelisah yang menyerangnya. Seperti anak panah yang dilepaskan dari busur, sang kuda jantan berlari dengan napas yang memburu, berkeringat membanjir, mencari kuda betina! Sang kuda berteriak dengan kedua kaki depannya melambung tinggi, menendang, melompat-lompat, tak mampu menahan birahi yang meluap, melampaui kekuatan kesucian dan keyakinan dalam jiwanya sendiri.
Kuda jantan semakin tegang, gelisah! Dalam larinya, tidak hanya tubuhnya yang menegang dengan urat-urat yang menonjol, tetapi organ kelaminnya juga meregang seiring dengan langkah kakinya di padang yang tak berujung dan berliku. Begitu hebatnya hawa birahi yang menerpa Begawan Wisrawa, birahi yang belum pernah dirasakannya, meskipun pada masa remaja dan kedewasaannya. Sang kuda terus menuruni dan mendaki, melewati setiap celah gunung, jurang yang terlewati. Ia berlari seperti kuda perkasa yang menjelajahi seluruh padang gelora dengan satu tujuan, mencari kuda betina!
Dalam jagad perasaan manusiawi sang Begawan, ia merasakan keutuhan yang melampaui puncak nafsu manusia di bumi. Hal ini terjadi karena Batara Guru menyusup ke inti jagad manusiawi sang Begawan dan membangkitkan getaran dalam simpul saraf dan inderanya. Para Dewa memiliki hak untuk membangkitkan alam birahi dalam jagad manusia.
Sementara itu, Betari Uma menciptakan nuansa-nuansa imajinatif bagi Dewi Sukesih. Sebab sebenarnya, birahi tak lebih dari ilusi/imajinasi semata. Hanya karena imajinasi itu datang dari pikiran dan perasaan kita, maka seolah-olah itu menjadi sesuatu yang nyata.
Maka Dewi Sukesih terlihat seperti seorang wanita yang bermandikan diri di telaga yang penuh pesona, Taman Firdaus, telaga Nirmala. Sentuhan tangan Dewi pun melintasi tubuhnya yang terbuka, memunculkan sensasi erotis yang membara. Dengan lembut, jemari-jemarinya menjelajahi setiap lekuk tubuhnya. Saat itu, kesucian alam Sastra Jendra Hayuningrat seakan sirna! Bahkan sentuhan air yang meluncur mampu menimbulkan erotisisme yang tak tertandingi. Dewi berenang di telaga Nirmala, memetik bunga-bunga yang tumbuh di permukaan telaga, lalu menyentuh tubuhnya dengan bunga-bunga tersebut, menghadirkan erotisisme yang menggairahkan, erotisisme yang tak tergambarkan dalam dunia ini.
Ternyata, benda-benda itu sendiri sudah cukup mampu membangkitkan erotisisme yang meluap-luap bagi Dewi, tanpa kehadiran apapun, tanpa keberadaan organ kelamin laki-laki, tanpa keberadaan pria! Dan betapa kuatnya gairah dalam diri Dewi Sukesih ini. Sentuhan-sentuhan bunga teratai surgawi semakin memperkuat rangsangan erotisisme sensual bagi Dewi. Ikan-ikan di dalam telaga pun bermain-main dengan iseng pada tubuh telanjang Dewi, juga mempersembahkan kenikmatan yang menakjubkan dalam sensasi sensual bagi Dewi.
Maka puncak kepuasan sensual Dewi belum juga tercapai. Dewi pun bangkit dari telaga yang indah tersebut, bermain berguling-guling di taman. Sentuhan rumput di taman menyulut gairah yang menggelitik. Dari celah-celah taman, muncul seekor ular besar, dan Dewi membiarkan ular itu mendekat, menjalar, dan menjilati tubuhnya. Ular itu melilit Dewi mulai dari ujung kakinya hingga ke lehernya, menghadirkan puncak erotisisme yang sempurna. Tidak ada tempat lain yang serupa. Dewi mengeluarkan jeritan yang memukau. Jeritan itu adalah pengakuan akan kerinduannya akan kehadiran fisik seorang pria, kerinduannya akan sentuhan, ciuman, dan terutama kerinduannya akan keberadaan organ kelamin seorang pria. Terlepaslah erangan-erangan desah Dewi.
Dalam kegelisahan jeritan dan desahan Dewi, dirinya berubah menjadi seekor kuda betina yang bergumul, berputar-putar, menggosok-gosokkan tubuhnya, tersiksa oleh kehangatan birahi!
Dan pada saat kuda jantan yang sedang mencari kuda betina bertemu, keduanya bersatu. Mereka berputar-putar bersama, menggigit satu sama lain sambil bergabung dalam persetubuhan. Saat organ kelamin kuda jantan menyatu dengan organ kelamin kuda betina, kesadaran pun menyadari Dewi! Kesadaran pun menyadari Begawan! Namun, pada saat itu, semuanya sudah terlambat.
Saat itu, tetesan dari tubuh sang Begawan melambangkan kelengkapan, dan saat kegairahan organ kelaminnya memasuki rahim Dewi, sperma pun dilepaskan. Hubungan suami-isteri yang sempurna melebihi kenikmatan yang telah mereka rasakan sebelumnya.
Sementara itu, menjelang puncak persatuan mereka, Batara Guru dan Betari Uma dengan cepat meninggalkan tubuh keduanya dan melaporkan kepada Batara Narada.
“Wahai Kakanda, sungguh! Mereka masih merindukan dosa-dosa tersembunyi. Meskipun mereka telah mencapai tingkat kesucian yang paling tinggi, melebihi kesucian kami para Dewa, mereka masih memiliki kelamin yang terikat dalam Jagad Sastra Jendra Hayuningrat. Wahai Kakanda, betapa keagungan dan kesucian Sastra Jendra masih harus mereka perjuangkan melalui kelamin mereka. Mereka harus kembali ke bumi dengan kelamin mereka.”
Begitu terpapar oleh birahi yang dahsyat, semakin tinggi birahi yang dirasakan keduanya, semakin mereka turun dari Kahyangan. Suara kejantanan yang bergemuruh dari sang Begawan dan jeritan kefemininan dari Dewi mencapai puncak persatuan mereka, dan mereka kini berada di Taman Arga Soka. Taman yang telah disiapkan oleh Prabu Sumali, ayah Dewi Sukesih.
Saat menyadari hal itu, keduanya berada dalam keadaan tanpa busana. Reaksi pertama mereka adalah segera mengambil pakaian mereka yang tergeletak di dekat mereka dan segera menutupi tubuh mereka.
(Seperti yang tertulis dalam Al-Qur’an: “….Adam dan Hawa segera mengenakan daun-daun surga untuk menutupi aurat mereka.”)
Mereka tercengang, tertekan oleh rasa malu yang tak terperikan! Setelah keduanya selesai mengenakan pakaian mereka, terlihat bahwa pakaian Dewi, pakaian indah putri seorang raja yang seluruhnya berwarna putih, terdapat noda darah keperawanan Dewi. Bunga Menur, seorang gadis yang suci, gugur.
Begawan berkata kepada Dewi Sukesih, “Wahai kekasihku, kita sudah terikat sebagai suami dan istri, dan kita tidak perlu melaksanakan pernikahan lain atas persetujuan orang tua kita. Kita tidak perlu upacara pernikahan yang diakui oleh masyarakat, oleh umat. Dan kita pun merasa malu untuk meminta persetujuan dari Dewa untuk mengesahkan pernikahan kita. Kita dinikahkan oleh nafsu kita. Bukan oleh alam semesta ini, bukan oleh orang tua kita, dan bukan pula oleh Sang Hyang Wenang, Tuhan Yang Maha Esa.”
Dewi Sukesih merasa sedih dan air matanya tidak henti mengalir. Di sisi lain, sang Begawan tetap diam, tanpa sepatah kata pun yang mengungkapkan permohonan ampun dosa. Tidak ada kata-kata yang menunjukkan rasa penyesalan atau penyesalan dari sang Begawan.
“Wahai kekasihku,” ujar sang Begawan dengan suara serak dan kering, “Kamu masih beruntung, kesedihan dan penyesalanmu masih dapat diwakili oleh air matamu yang terus mengalir. Tetapi aku tidak lagi mampu mewakili rasa sakit dari rasa bersalah ini.”
Meskipun tidak ada kata-kata atau air mata yang meluap dari sang Begawan, ternyata rasa penyesalannya jauh lebih mendalam. Karena dia adalah seorang pendeta, seorang hamba Allah, seorang ulama yang sangat mendalam, seorang resi, dan seorang imam yang sangat suci.
Rasa penyesalan tidak dapat lagi diwakili oleh alat apa pun, bahkan dalam bentuk tangisan sekalipun. Maka sang Begawan berkata, “Kekasihku, tangislah sebanyak yang kamu mau, tetapi itu tidak akan menghapus noda-noda kita. Darah yang terdapat pada pakaianmu akan membuat setiap manusia yang akan lahir ke dunia ini terjebak, terkurung dalam kerinduan malam pertama pengantin. Biarkanlah kita menjadi korban nafsu serakah kita sendiri. Biarkanlah kita menjadi tumbal dari nafsu yang lebih besar dari apapun. Biarkanlah kita menanggung dosa dari semua yang akan dilahirkan ke dunia ini,” sang Begawan terdiam sejenak, lalu ia berkata,
“Wahai kekasihku, sperma yang keluar dari kelaminku telah memasuki alam kewanitaanmu. Biarkan sperma itu menjadi ciptaan baru dalam rahimmu, menjadi makhluk baru yang memiliki kebebasan. Apapun janin yang terbentuk. Kita serahkan pada nafsu yang kita ukir bersama. Biarkan nafsu itu membangunkan bayi yang ada di dalam rahimmu. Wahai kekasihku, kita harus siap mencintai, merawat, dan mendidik bayi-bayi yang akan dilahirkan. Anakmu adalah anakku, seharusnya cucuku, tetapi anakmu adalah anakku. Tidak peduli sifatnya, kita tidak boleh mengurangi cinta kita kepada mereka, kita akan mendidik mereka dengan pengorbanan tanpa menuntut balasan. Meskipun kita mendidik mereka sebaik mungkin, karena mereka lahir dari dosa kita, kita tidak mampu membuat mereka menjadi anak yang baik yang mendapat ridha dari Tuhan. Biarkan mereka tumbuh dengan sifat-sifat mereka, dengan semua kesalahan mereka. Biarkan anak kita berkembang sesuai kehendaknya, selama kita menyimpan kasih sayang yang tulus untuk mereka. Dengan perlindungan dan pendidikan yang sepenuh hati. Apakah mereka baik atau tidak, bukanlah tugas kita lagi. Itu tergantung pada kebijaksanaan Sang Hyang Widhi yang menciptakan kita. Kita tidak mampu berdoa untuk itu, karena doa itu sendiri telah mengutuk kita sejak tindakan nafsu yang akan terukir sampai akhir dunia.”
Maka mereka merasa malu untuk menghadapi orang-orang yang mereka cintai. Sang Begawan harus meminta maaf dan mencium kaki sahabatnya sendiri,

Leave a Comment