Ilmu Kehidupan Ngelmu Urip

Ngelmu Urip

<a href="https://www.civilengineerdwg.com/"><img data-src="Ilmu Kehidupan Ngelmu Urip.png" alt="Ilmu Kehidupan Ngelmu Urip"></a>
Dalam upaya memahami konsep ‘ngelmu urip‘, penting untuk menggali pemahaman tentang ‘ngelmu Jawa’, karena itu merupakan salah satu aspek yang terkait dengan menjalani kehidupan di dunia. Fokus utamanya adalah menjalani kehidupan dengan benar, baik, dan berkualitas, sehingga dapat mencapai kehidupan yang utuh setelah mati. Dalam konteks ini, “terus hidup” tidak merujuk pada surga atau neraka, melainkan pada pencapaian kehidupan yang menyatukan semua unsur-unsur yang membentuk manusia hidup dari sumbernya yang sempurna.
Untuk mencapai kehidupan yang utuh tersebut, unsur-unsur tersebut, seperti api, tanah, angin, dan air, kembali ke sumber azali mereka. Cahaya dan panas pun kembali ke sumber azali. Demikian pula, sukma (zat hidup, ruh) kembali ke Sukma Kawekas (Pencipta Sejati, Zat Sejati Kehidupan). Oleh karena itu, tujuan yang diinginkan adalah mencapai bentuk kehidupan yang baik yang dapat dijadikan teladan oleh generasi berikutnya. Hal ini karena pengajaran tentang “ngelmu urip” dalam bahasa Jawa lebih menekankan pada masalah kehidupan secara menyeluruh.
Tak dapat disangkal bahwa seseorang harus hidup secara bersamaan dengan orang lain dan seluruh makhluk di alam semesta ini (Ngarcapada). Secara holistik, hal ini memberikan alasan yang kuat bagi para ahli untuk memberikan perhatian pada pandangan (falsafah) Jawa ini. Mengapa demikian? Karena semua yang ada di alam semesta ini saling terhubung secara “kosmis-magis”. Ini merupakan warisan yang tertanam dalam darah orang Jawa dan menjadi “naluri dasar” mereka.
Pengajaran Jawa, sebagai pengetahuan dan perilaku yang diturunkan dari sumber asalnya, telah ada sejak zaman dahulu hingga saat ini, namun bukan sebagai bagian dari “sistem pendidikan”. Lebih tepatnya, ini merupakan sarana penularan dari “orang bijak” kepada generasi muda. Dalam proses ini, pengetahuan dipilih untuk ditularkan. Sayangnya, saya merasa sedih dan terasing dari orang Jawa sendiri, karena kurang memahami dan kehilangan warisan pengetahuan dan peradaban mereka, dan menganggap pengetahuan dan perilaku Jawa hanya berhubungan dengan kehidupan spiritual. Pandangan ini kemudian mengakibatkan persepsi yang keliru, seperti menganggapnya sebagai hal mistis, takhayul, atau kepercayaan buta.
Perkembangan zaman saat ini telah membuat manusia semakin cerdas, tetapi terkadang juga semakin ceroboh. Namun, mereka kurang tertarik saat menghadapi masalah-masalah yang tidak dapat dijelaskan secara logika. Semuanya dianggap harus berdasarkan akal dan penalaran. Jika tidak, dianggap sebagai omong kosong yang tidak berarti. Namun, tuntutan untuk “bertahan hidup” di zaman sekarang mengharuskan penggunaan semua potensi yang ada. Di sisi lain, kita juga menghadapi “gerakan” peradaban yang cepat di seluruh dunia. Perubahan yang begitu cepat ini menyebabkan banyak orang “bingung” dan kesulitan dalam memahaminya. Mereka beroperasi dengan mengandalkan naluri defensif untuk tetap bertahan. Setiap orang membutuhkan kehidupan berkualitas, seperti yang dijelaskan dalam Wedhatama, yang mencakup pemenuhan kebutuhan pakaian, makanan, dan tempat tinggal (harta atau kekayaan), mencari keringanan dalam aktivitas sehari-hari (penghargaan), dan mencapai pengetahuan dan keterampilan (pembelajaran). Jika salah satu dari tiga aspek ini tidak dilakukan dengan baik, maka kehidupan akan menjadi kacau.
Tentu saja, dalam masyarakat, ada yang sangat kaya dan ada yang sangat miskin. Ada yang dapat menjadi teladan (mencapai kehormatan), dan ada yang menjadi “penghuni perumahan”. Ada yang cerdas, tetapi juga banyak yang bodoh dan tidak tahu apa-apa. Semua perbedaan individu ini ada dalam masyarakat. Namun, ada potensi ketegangan yang tidak dapat dihindari. Oleh karena itu, ajaran agama dan ideologi yang ada di dunia ini menjadi cara untuk mencapai perdamaian antara manusia. Potensi ketegangan tersebut diatasi dengan menggunakan hukum negara, adat, ajaran agama, dan etika moral lainnya. Demikian pula, pengetahuan dan perilaku Jawa memiliki tujuan untuk menciptakan ketentraman yang menyelaraskan kehidupan yang baik dan sejahtera dalam kegiatan sehari-hari. Namun, pendekatan Jawa lebih cenderung pada pembentukan kesadaran batin manusia daripada membuat aturan-aturan yang mengatur setiap individu dalam kehidupannya. Pengetahuan dan perilaku dalam ajaran Jawa ada dalam kesadaran itu sendiri.
Dalam konteks ini, pertanyaannya adalah apakah pengetahuan dan perilaku Jawa masih relevan dalam menghadapi tantangan kehidupan di era globalisasi saat ini? Nilai-nilai budaya dan peradaban manusia secara alami akan berubah seiring berjalannya waktu. Pengetahuan dan perilaku yang ada dalam ajaran Jawa memiliki banyak manfaatnya sendiri. Namun, secara umum, pengetahuan dan perilaku ini digunakan untuk kepentingan hidup. Setiap manusia memiliki warna kehidupan mereka sendiri. Ada yang “baik-benar-baik” untuk kepentingan hidup bersama, tetapi ada juga yang “salah-sangat-salah” yang merusak kehidupan bersama. Jadi, pengetahuan dan perilaku untuk kepentingan itu ada di seluruh dunia Jawa. Semuanya dirangkai untuk menjalani kehidupan.
Karena itu, dalam pos ini, saya merasa perlu mengajukan konsep “Ngelmu Urip” dengan merujuk pada karya-karya seperti Wulangreh, Wedhatama, dan lain-lain. Semoga Tuhan Yang Maha Esa memberikan petunjuk.

Memahami Hakikat Kehidupan dalam Budaya Jawa

“Pancadane ‘Ngelmu Urip’ adalah ‘peringatan’, yaitu mengingat ‘hakikat kehidupan’ atau ‘inti kehidupan’ dalam hubungannya dengan manusia. Manusia adalah makhluk yang unik dibandingkan dengan makhluk lainnya. Keunikan ini disebabkan oleh adanya ‘perangkat kehidupan’ yang ada dalam budaya Jawa yang disebut ‘cipta-rasa-karsa’.
Ini tercermin dalam aksara Jawa “ha-na-ca-ra-ka” yang berarti ‘utusan’ (perwakilan dari Tuhan) yang diberikan cipta (pikiran), rasa (perasaan), dan karsa (kehendak). Jadi, ‘cipta-rasa-karsa’ ini membedakan manusia dengan makhluk lainnya.
Siklus kehidupan yang umumnya dijalani manusia adalah sebagai berikut:
  1. Terlahir
  2. Ditumbuhkan oleh orang tua
  3. Masa dewasa (dapat mencari nafkah sendiri)
  4. Menikah
  5. Memiliki anak (memelihara)
  6. Mengasuh anak
  7. Mati
Siklus ini tidak hanya terjadi pada manusia, tetapi ada juga siklus yang serupa pada makhluk lain. Artinya, hanya menjalani naluri alamiah dan tidak mengoperasikan perangkat kehidupan yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa yang disebut ‘titah utama’.
Jika berdasarkan agama Islam, manusia ditempatkan sebagai ‘Khalifah Allah di bumi’, sebagai wakil atau utusan Allah di dunia. Tetapi perlu diingat bahwa manusia yang bisa menjadi utusan atau wakil Allah adalah orang yang bisa mengoperasikan ‘cipta-rasa-karsa’-nya yang tumbuh bersama kehendak Tuhan Yang Maha Esa, bukan hanya mengoperasikan naluri alamiah seperti yang telah kita atur di atas.
Untuk bisa mengoperasikan ‘cipta-rasa-karsa’, diperlukan ‘pengetahuan’ dan ‘tindakan’. Pengetahuan untuk memahami hakikat dari ‘cipta-rasa-karsa’ tersebut dan tindakan untuk menerapkan pemahaman pengetahuan itu menjadi perilaku.
Jika diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, ‘watak-wantu’ mencakup:
  • Pengetahuan (knowledge)
  • Sikap (attitude)
  • Keterampilan (skill)
  • Bakat (aptitude)
  • Kebiasaan (habit)
Jadi, salah satu cara untuk memahami konsep “ngelmu iku kelakone kanthi laku” adalah bahwa pengetahuan dapat menjadi watak seseorang jika diterapkan dalam tindakan. Inti dari ‘cipta-rasa-karsa’ ini berguna dalam kehidupan manusia, mulai dari pemahaman pengetahuan hidup hingga penerapan perilaku hidup.
Pertanyaannya, jika ada ‘ngelmu urip’, tentu ada juga ‘ngelmu mati’. Karena itu ada ‘ngelmu-ngelmu’ yang penting untuk persiapan mati. Semua usaha dalam kehidupan adalah persiapan untuk mati. Ada yang disebut ‘tata lair’, misalnya tindakan untuk memenuhi kebutuhan ahli waris agar warisan yang perlu diwariskan tersedia. Ada yang disebut ‘ranah kebatinan’, misalnya pengetahuan ‘mati dalam kehidupan’ yang berarti (cara menjalani) dengan mengubah ‘cipta-rasa-karsa’, misalnya dengan melakukan tapa brata dalam kesepian meninggalkan keramaian (masyarakat).
Pengetahuan seperti itu tidak salah dan tidak keliru karena sangat subjektif, terkait dengan ‘persepsi’ masing-masing individu tentang arti hidup yang berbeda. Dalam budaya Jawa, ada pengetahuan-pengetahuan yang penting untuk ‘persiapan mati’. Mohon maaf, pengetahuan tentang ‘kematian’ ini sebaiknya dijelaskan oleh orang lain yang lebih berpengalaman. Sejujurnya, saya tidak sepenuhnya memahaminya.
‘Ngelmu urip’ tidak hanya tentang tata lahir, tetapi juga berkaitan dengan kebatinan. Menurut filosofi Jawa, ada hubungan ‘kosmis-magis’ antara dunia mikro (manusia hidup) dengan dunia makro (alam semesta). Ini berkaitan dengan konsep ‘kawruh sangkan paraning dumadi’ (pengetahuan tentang hakikat kehidupan).
Jika kehidupan manusia dibangun dari tiga unsur, yaitu: materi (bumi dan langit), cahaya dan api, serta roh sejati (esensi kehidupan, jiwa). Tiga unsur ini berasal dari ‘Guruning Ngadadi’ yang juga disebut ‘Suksma Kawekas’, yang tidak lain adalah Tuhan Yang Maha Esa yang disembah sebagai sumber titah yang agung.
Dengan mempertimbangkan penjelasan di atas, filosofi Jawa pada dasarnya menjelaskan tentang ‘Pemujaan’ yang disebut ‘Gusti Kang Murbeng Dumadi’, ‘Hyang Agung’, ‘Hyang Suksma Kawekas’, ‘Guruning Ngadadi’, dan sebutan lain yang sangat bervariasi. Nama-nama tersebut dikumpulkan oleh R. Ng. Ranggawarsita dalam karyanya ‘Paramayoga’.”
<a href="https://www.civilengineerdwg.com/"><img data-src="Memahami Hakikat Kehidupan dalam Budaya Jawa.jpg" alt="Ilmu Kehidupan Ngelmu Urip"></a>

Memahami Kawruh Kejawen dan Kasampurnaning Urip dalam Budaya Jawa

Dalam konsep “ngelmu urip” terdapat tiga hal utama yang perlu dipahami:
  1. Kesadaran akan Keesaan Tuhan,
  2. Kesadaran akan keterkaitan kosmis-magis antara jagad cilik (dunia mikro) dan jagad gedhe (dunia makro),
  3. Kesadaran akan keberadaban hidup.
Ketiga hal ini harus disatukan menjadi satu makna yang dikenal sebagai “Kawruh Kejawen” atau pengetahuan Jawa. Kawruh Kejawen bukanlah ajaran agama dengan kitab suci dan nabi sebagai otoritas tertinggi, melainkan hasil karya para pemikir dan pujangga Jawa sejak zaman prasejarah hingga peradaban dan kebudayaan Jawa.
Dalam Kawruh Kejawen, terdapat sintesis, asimilasi, dan percampuran antara makna-makna Jawa dengan nilai-nilai budaya, peradaban, dan agama yang tumbuh di tanah Jawa. Meskipun terjadi sinergi dan sinkretisme, inti dari Kawruh Kejawen yang terdiri dari tiga hal di atas tetap hidup dalam “hakekat hidup”. Hal ini juga dapat melengkapi pemahaman terhadap ajaran-ajaran agama. Di dunia pengetahuan masyarakat Jawa, hal ini disebut “Kawruh Kasampurnan”, yaitu pengetahuan yang mendorong kesempurnaan hidup.
Kasampurnaning urip, atau hidup yang sempurna, meliputi tata lahir dan kebatinan. Dalam tata lahir, ajaran Wedhatama menyebutkan “wirya arta tri winasis” yang berarti cukuplah sandang, pangan, papan, dan penunjuk kemampuan. Sedangkan dalam hal kebatinan, “urip sempurna” berarti mampu kembali dengan sempurna ke segala yang dimiliki. Unsur-unsur materi seperti bumi dan langit, cahaya dan api, serta unsur kehidupan seperti suksma (roh), dapat kembali ke sumbernya masing-masing. Unsur materi hanya dapat kembali dengan sempurna saat manusia mati, sedangkan unsur kehidupan dapat kembali dengan sempurna ke Dzat Sejatining Urip, mencapai kesempurnaan.
Dalam ajaran “kawruh sangkan paran” (Wedaran Sang Wiku), keharusan untuk mencapai kesempurnaan hidup telah disebutkan sejak awal pelaksanaan hidup. Namun, masih ada beberapa hal yang belum terselesaikan, sehingga penting untuk mengikuti perintah sabda Tuhan Yang Maha Kuasa. Banyak orang yang tersesat di “alam pangrantunan” (alam keabadian), atau bahkan berubah menjadi hantu di dalam kayu dan batu. Kembali dengan sempurna ke “Dzat Sejatining Urip” (Suksma Kawekas, Guruning Ngadadi) tergantung pada pengertian dalam menjalani kehidupan di dunia ini, serta petunjuk-petunjuk yang mengarah kepada kesempurnaan hidup tersebut. Semua ini termasuk dalam konsep “ngelmu urip” yang sedang kita bahas.

Peranan Ilmu dan Pengetahuan dalam Kehidupan Manusia

Ilmu dan pengetahuan memiliki peran penting dalam kehidupan manusia. Jika seseorang hidup sendirian, mungkin hanya insting alamiah yang diperlukan. Namun, ketika hidup bersama dengan manusia lain dan mengikuti perintah Tuhan Yang Maha Esa, ilmu dan pengetahuan menjadi sangat diperlukan. “Ngelmu urip” digunakan untuk membimbing manusia dalam menjalani kehidupan di dunia ini. Ilmu beroperasi melalui nalar atau pikiran, sedangkan pengetahuan beroperasi melalui imajinasi, perasaan, dan kehendak. Meskipun keduanya berbeda dalam cara memperoleh dan mengaplikasikannya, keduanya sama-sama penting.
Belajar ilmu biasanya terjadi melalui sekolah dan lembaga-lembaga pendidikan, sementara belajar pengetahuan melibatkan tindakan yang lebih dalam dan berada di dalam hati. Inilah mengapa pengetahuan memiliki cakupan yang lebih luas daripada ilmu. Dalam tradisi Jawa, pengetahuan ini sering disebut sebagai “ngelmu,” yang terkadang diartikan sebagai “bodoh” dalam ilmu pengetahuan. Namun, pandangan ini lebih berkaitan dengan kecenderungan mistis dan kepercayaan dalam budaya Jawa.
Beberapa konteks, seperti pembangunan candi atau penanggalan (kalender), menunjukkan bahwa pengetahuan tingkat tinggi diperlukan tanpa harus terlalu bergantung pada ilmu pengetahuan Barat. Dalam hal-hal seperti itu, pemahaman tradisional Jawa, seperti metode perhitungan “awangan,” memainkan peran penting yang mencerminkan kekuatan spiritual manusia. Namun, penting untuk memahami bahwa pengetahuan “cipta-rasa-karsa” juga memiliki tingkatan yang beragam. Beberapa orang memiliki naluri alamiah yang tidak diajarkan di sekolah, tetapi ada juga pengetahuan “cipta-rasa-karsa” yang stagnan dan tidak mengalami perkembangan.
Belajar pengetahuan membutuhkan memiliki “budi luhur” yang penting. Belajar pengetahuan tidak boleh hanya menjadi pelarian dari semangat menghadapi kehidupan. Misalnya, mencari pekerjaan dengan mencari “pengetahuan batin” harus didasari oleh niat yang kuat untuk memiliki nilai-nilai luhur. Kesalahan pemahaman sering terjadi, di mana pengetahuan digunakan untuk kepentingan pribadi seperti menghindari hukuman atau mencari dukungan spiritual demi keuntungan tertentu. Pemahaman semacam itu tidak sesuai dengan “ngelmu urip” yang benar dan baik. Dalam Wedhatama, kesalahan pemahaman semacam itu disebut “ngelmu karang” yang kekuatannya berasal dari alam gaib, bukan dari hati yang tulus. Oleh karena itu, penting bagi masyarakat untuk tidak mencari jalan pintas dengan memanfaatkan kekuatan spiritual dari alam gaib.

Peran Budi Luhur dalam Konsep Ngelmu Urip

Budi Luhur sebagai dasar dari “ngelmu urip”. Dalam ajaran Jawa, terdapat konsep bahwa kehidupan yang baik haruslah tertib, tentram, makmur, dan sejahtera. Untuk mewujudkan hal tersebut, seseorang perlu memiliki budi luhur. Namun, memiliki budi luhur tidak bisa hanya dengan sekadar mempelajari “piwulang kautaman” (pengetahuan utama). Dalam “piwulang kautaman,” yang diajarkan adalah tidak hanya memahami pengetahuan, tetapi juga melaksanakan apa yang dipelajari.
Inti dari piwulang kautaman adalah mengembalikan pengetahuan kepada manusia yang “mengingat” asal-usulnya. Asal-usul ini merupakan perintah yang diberikan dengan rahmat dalam bentuk “cipta-rasa-karsa” (cipta = ciptaan, rasa = rasa, karsa = kehendak). “Mengingat” yang “benar-baik-bener” berarti:
  1. Mengingat bahwa menjadi titah Tuhan (Sangkan Paran, Manunggaling Kawula Gusti).
  2. Mengingat bahwa kita tinggal di planet bumi bukan tanpa alasan, tetapi sebagai bagian kecil dari “alam semesta” (Jumbuhing jagad cilik lan jagad gedhe).
  3. Mengingat kepada hukum “cipta-rasa-karsa” yang mengharuskan manusia untuk berperilaku baik.
  4. Mengingat untuk selalu menciptakan kerukunan dengan sesama manusia dan mencari kerelaan dari Tuhan yang lain.
  5. Mengingat untuk selalu menjaga “keselarasan” (kemarmonisan): memayu hayuning bawana.
Melalui tindakan, hal ini disebut “Panca Brata,” yaitu lakubrata untuk mengoperasikan “cipta-rasa-karsa.” Panca Brata terdiri dari:
  1. Melatih diri untuk memiliki sifat “narima” dengan mengurangi makan dan minum. Contohnya dengan berpuasa, berpuasa penuh, bersemedi, dan sejenisnya. Perbedaan puasa dalam ajaran Jawa dengan puasa sebagai ibadah agama terletak pada tujuannya. Jika puasa dalam agama bertujuan untuk mencapai surga, maka puasa dalam ajaran Jawa bertujuan untuk melatih diri memiliki sifat “narima”. Namun, syarat-syaratnya lebih ketat. Misalnya, meskipun seseorang berpuasa sehari, jika dalam hatinya masih belum bisa menerima pangan dan minuman dengan tulus saat “buka” puasa, maka tidak bisa dikatakan bahwa seseorang memiliki sifat “anarima”. Selain itu, memiliki sifat “anarima” saja tidak cukup, karena jika tetap ingin mencapai surga maka akan sulit untuk dilakukan.
  2. Melatih diri untuk selalu “eling” dengan mengurangi tidur. Artinya, tidak tidur sambil bermain kartu atau bercanda dengan teman. Yang ditekankan adalah tetap sadar dan selalu mengingat diri sendiri.
  3. Melatih kehidupan yang tertib dengan mengurangi hubungan intim. Namun, pengurangan ini haruslah dipahami dengan makna yang sebenarnya. Yaitu makna hubungan intim yang berhubungan dengan “titising wiji” yang melambangkan “rasa sejati”. Rasa sejati tersebut adalah “rasa nikmat yang mulia” yang diberikan kepada manusia saat menjadi ciptaan Tuhan yang baru. Nikmat mulia dari hubungan intim adalah yang mampu mengendalikan diri, bukan hanya nafsu semata. Oleh karena itu, yang dikurangi adalah hubungan intim yang hanya mengejar kenikmatan birahi semata.
  4. Melatih kesabaran dengan tidak tergesa-gesa. Sebaiknya melaksanakan prinsip: “di siang hari selalu melakukan pekerjaan yang bermanfaat bagi sesama”.
  5. Melatih sikap pasrah kepada Tuhan Yang Maha Kuasa dengan melakukan “mbisu” (diam). Namun, bukan hanya diam saja. Dalam hati, selalu menerima dan mengendalikan emosi. Menenangkan hati dapat menghasilkan petunjuk atau kata-kata Tuhan kepada kita masing-masing. Untuk memahaminya, perlu didengarkan atau dipelajari dengan sungguh-sungguh. Mendengarkan atau mempelajari tidak bisa dilakukan sambil mengomel atau mengoceh. Pasrah berarti mendengarkan atau “sabda dhawuh” yang membimbing ke arah kebenaran dan kebaikan yang sesungguhnya.

Hubungan Manusia dengan Saudara Gaib dalam Filosofi Jawa

Filosofi Jawa mengungkapkan bahwa setiap manusia memiliki saudara gaib yang mengikuti kehidupannya. Saudara gaib ini terdiri dari beberapa entitas, yaitu:
  1. Saudara Marmarti, yang berasal dari perasaan ibu saat hendak melahirkan.
  2. Saudara papat, yaitu rahim, plasenta, darah, dan pusar.
  3. Saudara sehari setelah kelahiran, yaitu semua yang ada di alam semesta yang lahir bersama atau sejalan dengannya.

Meskipun banyak yang tidak percaya atau tidak memahami maksud dari filosofi Jawa ini, namun intinya sangat terkait dengan “ngelmu urip” (ilmu kehidupan) yang mendalam.

Pemahaman yang lebih mendalam tentang konsep ini menghubungkan manusia dengan alam semesta secara kosmis-magis. Saudara Marmarti melambangkan hubungan batiniah antara anak dengan ibu yang juga terhubung dengan leluhur secara tak kasat mata. Saudara papat (empat pancar) menjelaskan bahwa roh manusia adalah ‘wujud hubungan inti-plasma’, di mana pancar menjadi ‘inti’ dan saudara papat adalah ‘plasma’-nya. Setelah kelahiran, ada satu saudara yang menggambarkan ‘penyatuan’, yaitu segala sesuatu di jagat ini, menurut kepercayaan Jawa, bersatu menjadi satu.
Menurut ajaran Kejawen, dunia tempat manusia tinggal sejatinya merupakan fase lanjutan dari alam rahim ibu. Ketika berada dalam rahim, ‘rahim, plasenta, darah, dan pusar’ memberikan kehidupan dan menjadi sarana koneksi janin dengan ibunya. Setelah lahir ke dunia ini, ‘rahim, plasenta, darah, dan pusar’ tersebut menjadi ikatan gaib yang menghubungkan manusia dengan dunia ini. Konsep ini juga mengaitkan hubungan kosmis-magis ‘inti-plasma’ dengan frasa “Manunggaling Kawula Gusti”. ‘Kawula’ merujuk pada plasma, sementara ‘Gusti’ (Tuhan) melambangkan inti. Tuhan tidak hanya memiliki manusia, tetapi juga ditaati oleh semua ciptaan-Nya. Ajaran Jawa mengaitkan hal ini dengan semua ‘perintah’ yang tidak terpisahkan satu sama lain, dan semua perintah memiliki kewajiban untuk menjaga kesatuan.
Percaya akan keberadaan saudara gaib yang terhubung dengan manusia sangat penting dalam ngelmu urip, dan terdapat ritual khusus dalam kepercayaan Jawa untuk ‘memule’ saudara gaib tersebut. Memule bukanlah sekadar perbuatan menyembah, tetapi juga merupakan bentuk penghormatan dan pengingatan terhadap ‘hubungan gaib’ antara manusia dan alam semesta secara batin. Jiwa manusia tidak hanya hidup, tetapi juga merasakan dan ‘terhubung’ dengan jiwa semua perintah Tuhan yang lain.
Penting untuk dicatat bahwa ini tidak harus berhubungan dengan ajaran agama. Namun, banyak orang yang tidak memahami dan salah menganggap bahwa memule saudara gaib berarti bersekutu dengan setan. Ini adalah kepercayaan Jawa yang dapat dipercaya atau tidak, tergantung pada individu masing-masing. Hal ini perlu disesuaikan dan dipahami dengan bijak.
Ritual atau tindakan untuk memule saudara gaib beragam tergantung pada tujuan dan pencarian dalam kehidupan masing-masing. Yang terpenting adalah memiliki niat yang kuat dan tanpa keraguan.
Tindakan yang dilakukan dengan tulus dan ikhlas akan memberikan dampak nyata. Orang yang percaya dan ingin melakukannya akan merasakan manfaatnya, sementara yang tidak percaya tidak akan merasakan manfaatnya.
Perlu diingat bahwa setiap tindakan harus dilakukan dengan tekad yang kuat, tanpa ragu atau kekhawatiran.

Kesadaran Kosmis dalam Ngelmu Urip

Hubungan Manusia dengan Saudara Gaib dan Kesejahteraan Alam Semesta
Saudara gaib menurut ajaran Jawa memiliki pengertian yang dalam tentang hubungan kosmis-magis antara dunia mikro dan dunia makro. Konsep ini mencakup saudara Marmarti, saudara papat kalima pancer, dan saudara tunggal dalam kelahiran. Hubungan ini mengaitkan kehidupan manusia dengan jagat semesta baik secara lahiriah maupun spiritual. Memahami dan menerapkan “ngelmu urip” yang mencakup kesadaran kosmis dan holistik ini sangat penting dalam mencapai kedamaian dan kemuliaan. Kedamaian dan kemuliaan ini berlaku untuk individu serta berdampak pada kesejahteraan alam semesta.
Dalam budaya dan peradaban Jawa, pengertian tentang kehidupan yang luhur selalu melibatkan kesadaran kosmis. Sejarah mencatat bahwa para pemimpin, pujangga, dan cendekiawan Jawa tidak pernah mengutamakan ‘kepentingan individu’ dalam menciptakan dan memperkaya ‘seni budaya’ Jawa. Sebagai contoh, gendhing ‘Ketawang Puspawarna’ tidak pernah dilindungi oleh hak cipta atau memunculkan tuntutan royalti dari pencipta atau pewaris ahli. Keberadaan profesionalisme dalam budaya Jawa tidak berkaitan dengan materi dan komersialisme, melainkan lebih kepada pengabdian yang mengarah pada kesejahteraan alam semesta. Hal ini sangat berbeda dengan model Barat yang cenderung bersifat komersial dan materialistik. Semua ini terjadi karena mereka yang memahami dan melakukannya.
Bagi mereka yang telah mampu menghubungkan diri dengan saudara gaib, seringkali ada kebingungan. Misalnya, konsep ‘saudara papat’ yang merujuk pada ‘cahaya-roh (ari-ari)-darah-pusar’ dikaitkan dengan ’empat nafsu dasar manusia hidup’ untuk menjelaskan keterkaitannya. Kemudian, dalam ‘Layang Djojoboyo’, terdapat penjelasan bahwa sedulur spiritual manusia (empat cahaya-roh) meliputi Jâbârâlâ, Mâkâhâlâ, Hâjârâlâ, dan Hâsârâpâlâ. Mereka sebenarnya adalah perwujudan utusan Tuhan Yang Maha Kuasa yang dalam agama-agama Timur Tengah dikenal sebagai Malaikat. Kesimpulannya, karena namanya sama, utusan tersebut sebenarnya merupakan perwujudan sejati dari manusia itu sendiri.
Konsep sejati ini adalah derivasi dari ‘Suksma Kawekas’ (Guruning Ngadadi, Hyang Agung, Hyang Widdhi, Gusti Allah). Diskusi di atas bertujuan memberikan panduan bagi mereka yang ingin mempelajari ‘ngelmu urip’ agar dapat memahami hubungan yang erat antara manusia dengan saudara gaib dan penerapan ‘ngelmu urip’. Selain itu, perlu dipahami sejauh mana pengertian tentang ‘kesadaran kosmis’ ini bisa dipilih dan dipraktikkan dengan baik. ‘Ngelmu urip’ merupakan petunjuk dalam menjalani kehidupan ala Jawa yang tercermin dalam Wedhatama, yaitu “mencari tahu tugas yang mulia dari pengetahuan yang tinggi yang ditemukan di tanah Jawa”. Manusia adalah ‘kawula’ atau ‘titah’ yang memiliki kewajiban ‘memayu hayuning alam semesta’. ‘Titah’ ini berlaku tidak hanya bagi individu, tetapi juga bagi semua orang dalam kewajiban “memayu hayuning bawana (alam semesta)”. Kesadaran dasar untuk mewujudkan titah tersebut adalah landasan dari ‘ngelmu urip’. Kesadaran ini disebut ‘ngelmu luhung’ dalam Wedhatama yang disebutkan di atas.
<a href="https://www.civilengineerdwg.com/"><img data-src="Kesadaran Kosmis dalam Ngelmu Urip.jpg" alt="Ilmu Kehidupan Ngelmu Urip"></a>

Manunggaling Kawula Gusti

Persatuan dan Kewajiban dalam Filosofi Jawa
Dalam memahami dan menggali lebih dalam, filosofi Jawa kembali kepada keyakinan bahwa segala yang ada (yang hidup) adalah ‘manunggal’ atau ‘bersatu’. Persatuan ini disebut dalam kalimat: ‘Manunggaling Kawula Gusti’. Jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, itu berarti ‘Maha Kesatuan Tunggal Semesta’. Namun, perlu dipahami juga bahwa dalam ilmu kebatinan Jawa, ‘Manunggaling Kawula Gusti’ mewujudkan tingkat kesadaran spiritual yang paling tinggi, yaitu tingkat kesadaran batin yang telah mencapai ‘pertumbuhan’ bersama antara manusia dan Tuhan. Arti yang mudah dipahami oleh masyarakat awam adalah tingkat kebatinan yang telah memahami ‘hakekat hidup’ atau ‘hakekat eksistensi’.
Memahami ‘hakekat hidup’ berarti mampu mencapai ‘Kawruh Kasampurnan’ (pengetahuan yang sempurna). Ini berarti kewajiban manusia (titah):
  1. Kepada Tuhan (beribadah).
  2. Kepada sesama manusia.
  3. Kepada jagat raya.
Ketiga makna tersebut di atas tidak terpisah dan juga terkait dengan kesadaran persatuan. ‘Segala yang ada adalah satu’. Ilustrasi persatuan ini disebut dalam kalimat ‘kadya kembang lan cangkoke’ atau ‘kadya sesotya lan embanane’. Jika menggunakan istilah modern, ini bisa diartikan sebagai hubungan antara ‘inti’ dan ‘plasma’. Tuhan adalah inti, sedangkan manusia adalah plasma.
Struktur hubungan inti-plasma (pancer-mancapat), jawa, dan plasma (macapat, jawa) sebenarnya menjadi landasan dari segala ‘ide-ide’ dalam dunia Jawa. Misalnya, ‘roh alam semesta’ disebut ‘Hyang Manikmaya’. Hyang Manik adalah inti, sedangkan Hyang Maya adalah plasma. Dalam pewayangan, Hyang Manik juga disebut Sang Hyang Jagad Girinata atau Bathara Guru. Sedangkan Hyang Maya disebut Hyang Ismaya atau Hyang Taya alias Semar. Contoh lain, roh manusia disebut ‘Pancer lan Sedulur Papat’, dengan ‘Pancer’ sebagai inti dan ‘Sedulur Papat’ sebagai plasma. Ide sistem ‘pancer-mancapat’ juga digunakan dalam pembentukan negara, pembangunan desa, pembuatan candi, keraton, kota-kota, pertanian, dan ekonomi berbasis sistem giliran pasaran.
Dalam hal ini, jika dilihat dari perspektif ilmu pengetahuan, sistem inti-plasma (pancer-mancapat) telah ditemukan sejak masa Renaissance di Eropa, sedangkan di Jawa sudah diterapkan sejak zaman kuno. Penggunaan ide ‘pancer-mancapat’ dalam hal kenegaraan dapat ditemukan dalam konsep negara. Yang menjadi pancer (inti, Tuhan) adalah ide (cita-cita, tujuan) yang diterapkan oleh negara dan dinyatakan dalam kalimat/suluk pedalangan: “Negari adi dasa purwa, panjang-punjung pasir wukir gemah ripah loh jinawi, tata tentrem kerta raharja”. Seluruh warga negara tanpa membedakan antara rakyat jelata dan pemimpin menjadi mancapat (plasma, manusia). Kewajiban manusia dalam negara adalah menjaga dan mendukung keberlangsungan negara. Namun, sejak zaman kerajaan hingga zaman republik saat ini, ide ‘pancer-mancapat’ dalam hal kenegaraan terlupakan.
Raja (pemimpin) menjadi pancer (Tuhan, inti), sementara rakyat menjadi mancapat (manusia, plasma). Hasilnya, ide Jawa yang ‘adiluhung’ berubah menjadi sistem feodalisme yang sarat dengan KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme). Sistem peradaban Jawa yang adiluhung tergusur selama beratus-ratus tahun. Pada awalnya, oleh budaya dan peradaban dari Asia Daratan. Kemudian oleh budaya dan peradaban India yang membawa sistem kerajaan dan kasta melalui agama Hindu dan Buddha. Dilanjutkan dengan pengaruh budaya dan peradaban Timur Tengah melalui agama Islam yang membawa sistem sentralisasi kekuasaan (Imperium Turki dan Kekuasaan Ulama Mekah).
Selanjutnya, datanglah penjajahan dari bangsa Eropa yang membagi warga pribumi menjadi kelas tiga, warga asing Asia (Cina, Arab, India, dll.) menjadi kelas dua, dan orang Eropa (Bangsa Barat) menjadi kelas satu. Orang Jawa dianggap sebagai kelas bawah dan pelayan oleh penjajah asing. Orang Eropa harus menyebut ‘ndârâ tuwan’, orang Cina harus menyebut ‘yuk’, dan orang Arab harus menyebut ‘ayik’. Semua sebutan tersebut mencerminkan pandangan bahwa orang Jawa rendah. Di sisi lain, budaya orang Jawa yang ‘adiluhung’ dianggap memiliki watak: ‘nyadhong-nggemblong-nyolong-nggarong’ (mendekam, menempel pada penguasa, dan mendapatkan rejeki yang tidak halal).
Oleh karena itu, jika ingin mengikuti ‘ngelmu urip’ yang benar dan baik, kita harus dapat menghilangkan sikap ‘nyadhong-nggemblong-nyolong-nggarong’ tersebut.

Menggali Ajaran Jawa

Kitab Gaib, Filosofi Aksara, dan Sastra Urip
Ajaran Jawa sering kali dianggap sebagai aliran kebatinan atau kepercayaan, tetapi di kalangan agamawan, ajaran ini dianggap belum matang dan perlu diperdalam untuk mencapai keselamatan di akhirat. Hal ini dikarenakan ajaran Jawa tidak memiliki kitab suci seperti yang dimiliki oleh agama-agama lainnya. Dalam konteks ini, banyak yang meragukan bahwa ajaran Jawa dapat menjadi pedoman hidup. Selain itu, mayoritas pengikut ajaran ini masih muda dan belum berumur panjang. Saat ini, ketika bertemu dengan sesepuh Jawa, penjelasan mengenai ‘kitab suci’ dan ‘utusan’ sering kali tidak diberikan. Para sesepuh yang saya temui justru menyebut bahwa yang dicari adalah ‘Agama Budi’, tetapi makna sebenarnya dari ‘Agama Budi’ ini selalu samar dan tidak jelas. Dalam perjalanan mencari pemahaman, saya bertemu dengan Kyai Bahrul Rondhi di Jepara pada tahun 1991, dan mendapatkan petunjuk dari beliau. Namun, Kyai Bahrul Rondhi dianggap sesat oleh para ulama karena mencampuradukkan kebatinan Islam dengan Kejawen. Meskipun demikian, yang ingin saya catat di sini adalah bahwa Kyai Bahrul Rondhi sering menyebutkan dirinya sendiri sebagai ‘kitab gaib’ dalam setiap pertemuan. Beliau memberikan bukti dengan menulis (meniru) kitab gaib yang memuat namanya menggunakan aksara Arab Pegon. Saya tidak dapat membaca tulisan tersebut, tetapi Kyai Bahrul Rondhi selalu membacakan satu kalimat dari tulisannya: “Hananira sejatining wahananing Hyang”. Anehnya, kalimat ini menggunakan bahasa Jawa, dan hal ini menyebabkan kebingungan bagi saya. Kemudian, saya membeli buku berjudul “Apa dan Siapa Semar?” karya Ir. Sri Mulyono. Di dalam buku tersebut, dikutipkan ‘Filsafat Nusantara’ yang berisi filosofi aksara Jawa ‘ha-na-ca-ra-ka’. Kalimat filosofi aksara Jawa tersebut adalah: “Hananira sejatining wahananing Hyang”, yang persis sama dengan kalimat dalam kitab gaib Arab Pegon yang dikatakan oleh Kyai Rondhi. Saya merasa bingung karena menyadari bahwa tidak ada kekhususan spiritual dalam mencari petunjuk yang dalam. Kemudian, Ki Denggleng Pagelaran (KDP) kembali dari Jepang dan mengajak saya mencari buku-buku di toko belakang Sriwedari Solo. Kami mendapatkan fotokopian Kitab Darmagandhul, Gatholoco, dan Walisanga. KDP sangat tertarik dan terpengaruh oleh isi kitab-kitab tersebut, meskipun terkelupas dari keterampilan penulis yang berusaha keras. Namun, saat membaca cerita tentang Prabu Brawijaya yang ingin pindah agama, saya merasa terkejut karena isi kelupasannya hampir sama dengan cerita anak-anak. Meskipun saya tidak tertarik dan tidak tertawa-tawa, saya tersenyum dengan serius karena membaca Kitab Darmagandhul pupuh Megatruh yang menyebutkan ‘Sastra Urip’, yang berarti ‘pengetahuan Tuhan’. Salah satu kutipannya adalah sebagai berikut:
  1. Sastraning Hyang hanya segelintir, tersebar ke seluruh bumi, berasal dari sabda yang suci, namanya Sastra Urip, yang menjadi pedoman hidup.
  2. Yang paling awal adalah Sastra Rancang, yang untuk pertama kali ada, ada namun tak berwujud, wujudnya berbentuk sepi, namanya tampak samar.
  3. Sastra Swarawangsit yang kedua, ditujukan kepada para pujangga, yang hidup di darat dan laut, sikap pujangga memiliki wawasan, isinya adalah wangsit yang jelas.
  4. Sebenarnya sabda Sang Agung, pujangga hanyalah alat penyalur, petunjuk yang harus diingat, tanda-tanda yang indah gaib, yang dipahami oleh orang yang ahli pengetahuan.
  5. Sastra Arja Ayuningrat yang ketiga, tanpa kertas berwarna cerah, sastra itu menunjukkan wujud yang tidak jelas, sifat wujud memiliki nama, namanya memiliki pemahaman.
  6. Sastra Endraprawata yang keempat, berasal dari janji tak pasti, kata-kata karena wujud, dicari di antara dua bentuk, yang dikenal orang.
  7. Mata dua melihat ke belakang, sifat manusia menyukai kebohongan, sesuai dengan cara bangsa tersebut, jika diperhatikan pengetahuan budi, maka dapat mengungkapkan kebenaran.

Kebijaksanaan Spiritualisme Jawa

Menyingkap Sastra Suci dan Logika Rasional
Berdasarkan penjelasan pujangga yang menciptakan Serat Darmagandhul (Ki Kalamwadi), terdapat sastra suci (firman, sabda dhawuh) dari Tuhan Yang Maha Agung yang menjadi satu-satunya sumber kebijaksanaan di dunia, dikenal sebagai Sastra Urip, yang berada pada tingkat tertinggi yang disebut KSM. Berikut adalah poin-poin yang perlu diperhatikan:
  1. Sastra Rancang: Merupakan sastra yang mengatur segala perintah kehidupan pada zaman dulu.
  2. Sastra Swarawangsit: Wujudnya berupa burung yang menyampaikan sabda Tuhan Agung kepada semua makhluk di dunia sebagai pesan suci yang gaib.
  3. Sastra Arja Ayuningrat: Berwujud gaib dan tidak tertulis di atas kertas, namun muncul dalam bentuk perintah.
  4. Sastra Endraprawata: Merupakan sastra yang berkaitan dengan manusia dan ditulis dalam aksara bangsa masing-masing. Pemahaman tentang sastra ini harus didasarkan pada pengetahuan budi.
  5. Sastra Swarasandi: Merupakan suara yang muncul dari gaib dan hanya terdengar oleh telinga pribadi, khususnya telinga perempuan. Hanya perintah yang dipilih yang bisa memahami Sastra Rancang, Sastra Swarawangsit, dan Sastra Arja Ayuningrat. Perintah yang dipilih tersebut mencapai tingkat ‘paramayoga’, yaitu tingkat yoga (semadi, meditasi) yang paling tinggi.
Oleh karena itu, pengetahuan Sejatining Urip versi Jawa tidak hanya berkaitan dengan hal-hal mistik dan primitif seperti yang sering dikatakan. Pengetahuan Jawa dapat dipelajari melalui logika rasional.
Terdapat pertanyaan apakah Jawa memiliki ajaran dan cara beribadah kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Kemungkinan ada petunjuk, dan jika ada, apakah ada cara dan tata cara beribadah yang khas. Namun, hal ini terlihat aneh dan telah menjadi perdebatan dalam beberapa generasi. Pada masa penyebaran agama Islam dan pengaruh ide rasional Barat yang semakin kuat, keberadaan pujangga Kraton yang mendukung telah merusak tatanan Jawa.
Namun, jika kita memperhatikan karya sastra para pujangga, kita akan memahami bahwa diskusi antara mereka sering kali menghasilkan penemuan dan argumen yang menarik. Ada sastra yang “menguatkan” ajaran Islam, ada yang samar-samar mengungkapkan “perlawanan”, dan ada juga yang “menyelaraskan” ajaran agama Islam, Hindu, dan Buddha dengan kultur Jawa. Terdapat juga karya sastra yang secara radikal menyerang doktrin-doktrin dogma agama-agama.
Keahlian politik Kraton dalam mengatur diskusi ini akhirnya menciptakan kekacauan di antara rakyat, dan mereka memilih karya sastra para pujangga yang akan dikonsumsi serta menyimpannya sebagai harta karun keraton.
Sangat baik jika para intelektual Jawa pada masa itu dan kebijakan pemerintahan Kraton dapat menciptakan “manajemen konflik” yang baik, sehingga tidak menimbulkan kekacauan dan pertengkaran. Namun, apa yang disimpan tersebut banyak yang dijadikan “cinderamata” bagi orang Eropa, dibawa kembali ke negara asal mereka, dipelajari, dan digunakan untuk kepentingan tertentu. Yang jelas, hal itu berakhir dengan “penjajahan”.
Ada beberapa karya sastra yang radikal yang berhasil lolos dari sensor atau bahkan disengaja oleh pemerintah penjajahan untuk memanipulasi pikiran rakyat Jawa dalam situasi “konflik” sehingga mereka lupa bahwa dunia harus didasarkan pada logika rasional.
Terjemahan di atas merupakan kutipan dari tulisan Ngelmu Urip #10 yang membahas tentang kebijaksanaan spiritualisme Jawa. Isi tersebut penting, karena dalam konteks sekarang banyak yang membicarakan tentang “Sastra Jendra Hayuningrat”, dan ada pula yang mengaku sudah dapat mengungkap pengetahuan “Sastra Jendra”. Namun, yang lebih penting adalah bahwa pengetahuan Sejatining Urip versi Jawa tidak hanya membicarakan hal-hal mistik atau primitif seperti yang sering dikatakan. Pengetahuan Jawa dapat dipahami melalui logika rasional.

Penyembahan dan Kekuatan Magis dalam Tradisi Spiritual Jawa

Menyingkap Praktik dan Nilai-nilai yang Terkandung
Dalam menjelajahi literatur dan budaya Jawa, tidak ditemukan petunjuk dan tata cara yang jelas terkait dengan penyembahan dalam bentuk ritual. Beberapa aspek yang termasuk di dalamnya adalah mantra, sesaji, laku sesirih, dan laku semedi (meditasi). Penting untuk dicatat bahwa tidak semua orang memahami secara tuntas makna dan tata cara pelaksanaan mantra, sesaji, laku sesirih, dan laku semedi dalam ritual penyembahan. Mantra sendiri tidak sama dengan doa, karena jika doa adalah permohonan kepada Tuhan, maka mantra memiliki kekuatan untuk mempengaruhi kehidupan seseorang sesuai dengan kehendak Tuhan.
Di sisi lain, sesaji, laku sesirih, dan laku semedi merupakan cara untuk mengatur energi hidup agar dapat menjalani kehidupan yang benar, baik, dan bermakna. Hal ini mengandung arti bahwa menjalani kehidupan dengan memayu hayuning bawana (menghormati alam semesta). Energi hidup manusia merupakan bagian dari “aura magis” yang meliputi seluruh manusia. Aura magis ini bervariasi tergantung pada unsur-unsur yang membentuk tubuh manusia, yang berasal dari bumi, langit, cahaya, dan panas yang selalu berputar pada setiap saat. Selanjutnya, terdapat pengetahuan Jawa yang menjelaskan berbagai jenis “aura magis” berdasarkan wetonan dan wuku. Aura magis manusia berhubungan dengan aura alam semesta dan memiliki kekuatan kosmis-magis. Ada dinamika kekuatan yang saling berkembang (bernyambung, bersinergi), namun juga ada yang saling menolak.
Laku sesirih dan semedi menjadi cara untuk memperkuat pertumbuhan aura magis manusia dengan aura alam semesta serta meningkatkan hubungan antara dunia mikro (manusia) dan dunia makro (alam semesta). Sementara itu, sesaji berfungsi sebagai sarana untuk memperkuat pertumbuhan aura magis manusia dengan titah dumadi di sekitarnya, terutama titah gaib. Manusia yang telah memahami dan mengarahkan pertumbuhan dunia mikro dan makro disebut telah mencapai “wahyu dyatmika”, yakni manusia yang menerima kekuatan lebih dari ciptaan Tuhan dalam bentuk perasaan yang disebut “prana”. Kemampuan ini dikenal sebagai mantra. Mantra memiliki berbagai macam warna dan masing-masing memiliki syarat-syarat yang harus dipenuhi. Mantra dapat digunakan untuk kebaikan, namun juga dapat digunakan untuk tujuan yang buruk. Oleh karena itu, dalam tradisi Jawa, penting ditekankan tentang “eling” (ingatan), yaitu mengingat pada “arasy kesadaran” yaitu ber-Tuhan, alam semesta, peradaban, kerukunan, dan keselarasan. Melalui “eling”, manusia dapat mengarahkan prananya menjadi mantra yang mendorong kehidupan bersama yang baik, yang disebut “tata tentrem kerta raharja” (tatanan yang penuh ketenangan dan kesejahteraan). Lebih penting dan tinggi lagi, jika mantra digunakan untuk “menyatukan hubungan alam semesta”. Menyatukan hubungan alam semesta dapat disebut sebagai bentuk penyembahan manusia kepada Tuhan sesuai dengan ajaran Jawa. Hal ini diungkapkan oleh pujangga R.Ng. Ranggawarsita dalam Kitab Pustaka Raja Purwa: “Dan patra dari Tuhan (menyembah hingga mencapai Tuhan Murbeng Dumadi) itu adalah dua pangeran, yang bukan terpisah, karena dalam sesungguhnya tidak ada yang bisa mencapai Tuhan jika belum mematuhi tapabrata.”
Selain penyembahan secara individu, terdapat juga operasionalisasi budi luhur di tengah-tengah kehidupan sehari-hari yang dikenal dengan prinsip “Hangawula kawulaning Gusti” (ingat akan kesatuan alam semesta). Penyembahan bersama dalam tata lahir dilakukan melalui “laku budaya” yang mengatur keindahan (Laku Kalangwan), seperti upacara ruwat bumi (grebeg, suran, sadranan, apitan, dll.), upacara kidungan, ritual gamelan, bedhaya ketawang, dan sebagainya. Intinya, penyembahan bersama dalam tata lahir dilakukan secara bersamaan dengan tata batin, menghidupkan energi kehidupan (prana urip) untuk menciptakan “mahamantra” yang dapat menjaga keseimbangan hubungan spiritual antara manusia dan alam semesta. Tujuannya adalah mencari kedamaian dalam segala hal.
Namun, disayangkan seiring berjalannya waktu, tradisi laku budaya yang memiliki nilai tinggi tersebut banyak ditinggalkan oleh masyarakat Jawa. Tradisi grebeg, suran, sadranan, apitan telah berubah menjadi tradisi adat yang kehilangan makna. Upacara kidungan dan ritual gamelan hanya menjadi nuansa sakral yang suci. Bedhaya ketawang dianggap hanya milik Keraton dan tidak diperbolehkan bagi anak-anak kecil, sehingga tradisi tersebut semakin terpinggirkan.

Hakikat Kehidupan dalam Ajaran Jawa

Petunjuk dari ‘Wirid Wolung Pangkat
Piwulang Jawa yang membahas tentang ‘Hakikat Kehidupan’ dijelaskan dalam ‘Wirid Wolung Pangkat’ atau ‘Wolung Martabat’ seperti berikut:

Petunjuk dari ajaran Pangeran

  • Hakikat sejati tidaklah ada apa-apa, karena masih belum ada yang ada sebelumnya.
  • Yang ada hanyalah Aku, tidak ada Pangeran, melainkan Aku sejati.
  • Aku memiliki kehidupan yang lebih suci, berarti warna, nama, dan perbuatan-Ku.

Petunjuk pembukaan tentang hakikat Pangeran

  • Aku adalah Pangeran Sejati, dan kekuasaan itu ada pada Aku sendiri.
  • Aku bekerja dalam alam semesta tanpa awal dan tanpa akhir.
  • Aku memiliki cahaya sebagai tanda keberadaan-Ku di alam semesta.
  • Aku memiliki bayangan sebagai tanda dan rahasia-Ku di alam semesta.
  • Aku memiliki jiwa sebagai tanda kehidupan-Ku di alam semesta ini.
  • Aku memiliki keinginan yang juga menjadi warna-Ku di alam semesta yang sedang terjadi.
  • Aku memiliki budi yang merupakan kenyataan sebagai pencarian keinginan yang ada dalam alam semesta halus.
  • Aku memiliki warna (tabir) yang merupakan keberadaan tersembunyi dari-Ku.
  • Itulah enam hal yang ada dalam diri manusia sejati.

Petunjuk tentang pengakuan akan hakikat manusia

  • Hakikat manusia adalah rahasia-Ku, dan Aku adalah hakikat manusia.
  • Aku memanifestasikan lima hal dalam diri manusia: cahaya, pikiran, jiwa (roh), keinginan, dan budi.
  • Itulah yang menjadi pembawa penghormatan-Ku yang muncul dalam diri manusia.

Petunjuk tentang keberadaan manusia yang merupakan hasil ciptaan:

  • Aku adalah tempat yang paling suci yang berada di bagian atas manusia.
  • Bagian atas adalah otak, di antara otak itu adalah inti (mata ketiga yang disebut pramana).
  • Di dalam inti itu adalah pikiran, di dalam pikiran itu adalah budi, di dalam budi itu adalah nafsu (keinginan).
  • Di dalam nafsu itu adalah jiwa, di dalam jiwa itu adalah rahasia, di dalam rahasia itu adalah Aku.

Petunjuk tentang rasa kesadaran manusia

  • Aku adalah tempat yang paling suci yang ada dalam hati manusia.
  • Di antara hati dan jantung terdapat rasa kesadaran, di dalam rasa kesadaran itu adalah budi.
  • Di dalam budi itu adalah hawa nafsu (keinginan, nafsu), di dalam hawa nafsu itu adalah jiwa, di dalam jiwa itu adalah rahasia, di dalam rahasia itu adalah Aku.

Petunjuk tentang peningkatan spiritual manusia

  • Aku adalah tempat yang paling suci yang ada di pusat (laki-laki: kepala) manusia.
  • Di pusat itu adalah bayangan (perempuan: benak), di antara bayangan itu adalah biji (perempuan: rahim).
  • Di dalam biji itu adalah air mani, di dalam air mani itu adalah sperma, di dalam sperma itu adalah embrio.
  • Di dalam embrio itu adalah rahasia, di dalam rahasia itu adalah Aku.

Petunjuk tentang penentuan sikap dan perilaku:

  • Kehidupan pribadi kita adalah karunia dan kemurahan dari Pangeran (Hakikat Kehidupan, Hakikat Sejati).
  • Pangeran adalah “penjaga kehidupan pribadi kita yang sejati”.
  • Segala sesuatu yang kita dapatkan berasal dari perwujudan pesan Pangeran yang keluar dari tubuh kita.
  • Hormati pesan itu dengan menunaikan tugas-Nya, maka kehidupan pribadi kita akan diberkahi dan mendapatkan anugerah.
  • Anugerah adalah Tuhan, dan penerima anugerah adalah hamba.
  • Tidak ada yang terpisah di dalam diri kita pribadi.

Petunjuk pengejawantahan

  • Kehidupan pribadi kita menjadi “kehidupan warga Pangeran Sejati” dalam hubungan dengan semua saudara kita.
  • Saudara kita meliputi bumi, langit, matahari, bulan, bintang, api, angin, air, dan semua yang ada dalam jagat raya.

Wejangan Wolung Pangkat

Konsep Spiritual Jawa tentang Hakikat Kehidupan dan Signifikansinya
Wejangan Wolung Pangkat (Martabat) adalah ajaran spiritual Jawa yang mengajarkan tentang ‘hakikat kehidupan’ manusia sebagai kesatuan tunggal dengan Pangeran atau Gusti, yang merupakan sesembahan dalam tradisi Jawa. Pangeran atau Gusti adalah zat mutlak tunggal yang abadi, tanpa arah, tanpa papan, tanpa bentuk, dan tanpa warna. Pangeran hadir secara menyeluruh dalam alam semesta, menyatu dengan segala sesuatu. Wejangan Wolung Pangkat terdapat dalam berbagai naskah kapujanggan yang merupakan warisan para Wali. Asal usulnya dapat ditelusuri dari ajaran Kanjeng Nabi Muhammad kepada Sayidina Ali. Pemahaman simboliknya diteruskan melalui telinga kiri.
Berikut ini adalah poin-poin yang terkandung dalam Wirid tersebut:
  1. Pengaruh Tasawuf dalam Wejangan Wolung Pangkat:
    • Wirid Wolung Pangkat memiliki petunjuk yang serupa dengan ajaran Tasawuf dalam Islam.
    • Buku “Islam Kejawen” oleh Prof. Simuh, khususnya “Serat Wirid Hidayat Jati” oleh R.Ng. Ranggawarsita, mengaitkan konsep tersebut dengan tasawuf.
    • Ada orang-orang yang sering menggunakan istilah ‘Islam Kejawen’ untuk merujuk pada ajaran ini.
  2. Pentingnya Memahami Konsep Spiritual Jawa melalui Ngelmu Urip:
    • Wejangan Wolung Pangkat diatur dalam semangat ‘Ngelmu Urip’ untuk memahami konsep spiritual Jawa yang mendasar.
    • Literatur naskah kapujanggan, seperti Kawitan zaman Sultan Agung, merupakan sumber banyak kepercayaan dan praktik kebatinan Jawa.
    • Namun, banyak orang yang kesulitan memahami bahasa dan terminologi yang digunakan dalam literatur tersebut.
  3. Kooptasi Budaya Asing dalam Sejarah Jawa:
    • Ada pendapat bahwa bahasa Jawa yang digunakan saat ini sebenarnya berasal dari bahasa Kawi (Jawa Kuna), yang merupakan bahasa persatuan bukan bahasa ibu bagi orang Jawa.
    • Sejak masa Sultan Agung, budaya dan peradaban asing secara spiritual telah mempengaruhi Jawa.
    • Para pujangga Jawa menggunakan sastra Jawa untuk melawan pengaruh budaya asing dan menghubungkan agama dengan rasionalitas sekuler Barat yang dibawa oleh penjajah Belanda.
  4. Solusi untuk Meredam Konflik melalui Konsep Hakekat Kehidupan Jawa:
    • Para ahli Jawa menemukan solusi untuk meredam konflik antara religius agama dan rasionalitas sekuler dengan mengembalikan ‘hakekat kehidupan’ Jawa.
    • Nilai-nilai filosofis aksara Jawa menggambarkan solusi ini, di mana setiap aksara tercermin dalam anatomi manusia.
Dengan demikian, setiap aksara Jawa mencerminkan bagian yang berbeda dari anatomi manusia dan mengungkapkan ‘hakekat kehidupan’ Jawa secara simbolis.

Wirid Wolung Pangkat dan Filsafat Nusantara

Memahami Spiritualisme Jawa melalui Aksara Jawa dan Konsep Guru Sejati
Aksara Jawa memiliki kaitan dengan legenda ‘Ajisaka’ yang merupakan sosok yang misterius. Ia berasal dari India dan muncul di tanah Jawa sekitar abad ke-3 hingga ke-4 M. Penelitian mengenai aksara Jawa ‘hanacaraka’ menunjukkan bahwa penggunaannya dimulai sejak zaman Sultan Agung (abad ke-16) dan mungkin bahkan sejak zaman kapujanggan. Pada masa itu, Jawa telah dijajah oleh Belanda yang menyebarkan pemikiran rasionalitas dan aksara Latin. Namun, pada umumnya orang Jawa saat itu lebih mengenal pemikiran religius Islam dan aksara Arab Pegon. Dalam upaya ‘menjembatani’ kemungkinan konflik, para sarjana Jawa berusaha menghidupkan kembali ‘hakekating urip’ melalui aksara Jawa ‘hanacaraka’. Tulisan ulang mengenai ‘hakekating urip’ menggunakan urutan aksara Jawa Piwulang yang ditulis oleh Ir. Sri Mulyono dalam bukunya “Apa dan Siapa Semar” disebut sebagai ‘Filsafat Nusantara’.
Berikut ini adalah urutan aksara Jawa Piwulang yang disebut ‘Filsafat Nusantara’:
  1. Ha: Hananira sejatining wahananing Hyang.
  2. Na: Nadyan nora kasat mata pasti ana.
  3. Ca: Careming Hyang yekti tan cetha wineca.
  4. Ra: Rasakena rakete lan angganira.
  5. Ka: Kawruhana jiwanira kongsi kurang weweka.
  6. Da: Dadi sasar yen sira nora waspada.
  7. Ta: Tamatna prabaning Hyang sung sasmita.
  8. Sa: Sasmitane kang kongsi bisa karasa.
  9. Wa: Waspadakna wewadi kang sira gawa.
  10. La: Lalekna yen sira tumekeng lalis.
  11. Pa: Pati sasar tan wun manggya papa.
  12. Dha: Dhasar beda kang wus kalis ing godha.
  13. Ja: Jangkane mung jenak jenjeming jiwaraga.
  14. Ya: Yatnana liyep luyuting pralaya.
  15. Nya: Nyata sonya nyenyet labeting kadonyan.
  16. Ma: Madyeng ngalam pangrantunan aywa samar.
  17. Ga: Gayuhaning tanna liyan jung sarwa arga.
  18. Ba: Bali murba misesa ing njero njaba.
  19. Tha: Thakulane widadarja tebah nistha.
  20. Nga: Ngarah ing reh mardi-mardiningrat.
Ngelmu urip Jawa memiliki lima aspek kesadaran, yaitu kesadaran religius, kesadaran semesta, dan kesadaran kemanusiaan. Untuk memahami kelima aspek tersebut, pemahaman terhadap spiritualisme Jawa sangatlah penting. Wirid Wolung Pangkat dan nilai-nilai filosofis aksara Jawa dapat digunakan sebagai sarana memahami spiritualisme Jawa yang merupakan manifestasi dari ‘piwulang sejatining urip’. Namun, banyak orang yang mengalami kesulitan dalam memahami petunjuk-petunjuk dalam Wirid Wolung Pangkat dan Filsafat Nusantara. Hal ini mungkin terjadi karena petunjuk dan filsafat tersebut bukanlah sabda dari Tuhan melalui utusan (mesias, nabi). Dalam tradisi Jawa, tidak ada istilah ‘utusan’ seperti dalam agama-agama lain. Yang ada hanyalah para guru atau pembimbing spiritual yang bertugas mengajarkan pengetahuan. Oleh karena itu, siapa guru yang memberikan petunjuk pengetahuan? ‘Guru Sejati’ adalah Tuhan atau Gusti yang patut disembah oleh semua makhluk. Oleh karena itu, pengetahuan yang diajarkan oleh para guru hanya mengarahkan siswanya untuk mencapai ‘Guru Sejati’. Wirid Wolung Pangkat dan Filsafat Nusantara berfungsi sebagai petunjuk bagi kita semua (orang Jawa) dalam mencari Guru Sejati. Tidak ada yang salah jika para pujangga mengatakan “Durung wenang amumuja Bathara lamun durung nglakoni tapabrata”. Namun, tindakan tapabrata telah diuraikan menjadi Pancabrata yang telah diatur. Tindakan tersebut, atau bisa disebut juga sebagai penyelesaian tapabrata, setelah mendapatkan ‘wahyu dyatmika’ dalam bahasa manusia dapat disebut sebagai ‘pencerahan’. Pencerahan inilah yang menjadi pencerahan dalam ‘Ngelmu Urip’.

Spiritualisme Jawa

Antara Pemahaman yang Terpinggirkan dan Keinginan untuk Meneruskan Pengetahuan Urip
Spiritualisme Jawa pada intinya adalah kesadaran religius, kesadaran kesemestaan, dan kesadaran keberadaban yang menjadi dasar dari Kawruh Kejawen. Hal ini juga digunakan untuk membedakan antara apa yang ‘benar’ dan apa yang hanya ‘pengetahuan duniawi’. Namun, tidak semua orang Jawa sepenuhnya memahami spiritualisme secara menyeluruh. Banyak yang masih awam dan membutuhkan bimbingan. Di tengah-tengah masyarakat Jawa, ada banyak sesepuh yang dipercaya sebagai panduan. Sesepuh ini juga sering menjadi pemimpin adat. Mereka memiliki berbagai sebutan seperti Ki Ajar, Ki Buyut, Ki Gedhe, Ki Ageng, dan lain-lain.
Seiring dengan perkembangan zaman, tanah adat yang sebelumnya bebas dan tidak tergantung pada pemerintahan kerajaan, kini dikuasai oleh para raja. Pemimpin adat diatur dalam ‘hierarki jabatan tata pemerintahan’. Ki Ajar, Ki Buyut, Ki Ageng, dan Ki Gedhe digantikan oleh Bupati (Tumenggung), Wedana, Demang, dan sejenisnya. Tata pemerintahan ini mengadopsi sistem dari budaya dan peradaban asing, seperti Asia Daratan dan Eropa. Peran pemimpin adat Jawa terpinggirkan, dan yang tersisa hanyalah para ‘sesepuh pinggiran’ yang dianggap memiliki keahlian. Sesepuh pinggiran ini sering disebut sebagai dukun.
Akibatnya, sering kali spiritualisme (kebatinan) Jawa dikaitkan dengan praktik dukun. Selain itu, pemahaman tentang spiritualisme Jawa juga dipengaruhi oleh pemahaman tentang ‘ilmu perdukunan’. Hal ini menyebabkan pandangan bahwa spiritualisme Jawa adalah ‘aliran sesat’ yang ‘bersekutu dengan setan’ dan sejenisnya. Penyebaran agama-agama dari luar dan modernisasi ala Barat yang mengutamakan ilmu pengetahuan dan teknologi di Jawa sangat intensif saat ini. Nilai-nilai Jawa terjepit antara religiusitas agama dan rasionalitas modern Barat. Sejak awal, religiusitas dan rasionalitas terjepit dalam ‘perseteruan’ yang tidak pernah berakhir. Sebagai akibatnya, Jawa terus-menerus terjepit.
Para pujangga Jawa yang peka terhadap situasi tersebut kemudian menciptakan ‘Kawruh Kejawen’ yang pada intinya menjelaskan ‘Sejatining Urip’ (Hakekating urip, Ngelmu Urip). Pada masa kepemimpinan Sultan Agung, Kawruh Kejawen yang mulia mulai ditulis secara terperinci. Para pujangga menyebutkan tulisan-tulisan yang mendiskusikan tentang:
  1. Kebatinan (spiritualisme)
  2. Filsafat (filosofi dan etika)
  3. Budaya (pertanian, ekonomi, sosial, ritual, dll.)
  4. Primbon, tata mangsa
  5. Seni budaya (wayang, karawitan, tari, batik, keris, arsitektur, dll.)
  6. Bahasa dan sastra
  7. Pengetahuan lainnya yang dibutuhkan dalam kehidupan orang Jawa.
Hal ini dianggap mulia karena semua pengetahuan Jawa tersebut dikonsepkan sebagai religius, memiliki kesadaran semesta, dan kesadaran akan berbudi luhur (beradab). Namun, perkembangan situasi membuat banyak orang Jawa menganggap Kejawen sebagai sesuatu yang rumit dan sulit dipahami. Akhirnya, banyak yang memilih mengadopsi budaya dan peradaban asing yang lebih populer dan mudah.
Seiring dengan itu, pengetahuan Kejawen terabaikan oleh dominasi nilai-nilai religius agama dan rasionalitas Barat. Kehendak Gusti Yang Maha Agung sebenarnya tidak mudah terhapus begitu saja. Demikian pula, kodrat Jawa tidak mudah hilang walaupun terjepit oleh dominasi nilai-nilai lainnya. Meskipun pengetahuan urip cara Jawa saat ini terabaikan, namun masih ada di dalam hati setiap orang Jawa. Dengan demikian, pengetahuan tersebut masih bisa diuraikan dan suatu saat nanti akan menjadi ideologi orang Jawa sekali lagi. Oleh karena itu, setelah banyak yang mengerti bahwa pengetahuan urip Jawa adalah suatu hal yang luhur tentang ‘sejatining urip’ bagi manusia, akan muncul keinginan yang kuat untuk menjalankannya.

Mengungkap Hubungan Manusia dengan Alam Semesta dalam Pengetahuan Primbon

Ngelmu Urip cara Jawa merupakan sumber dari filosofi Jawa yang bersifat menyatukan. Tujuannya adalah untuk mencapai kehidupan yang harmonis dan penuh keberkahan. Jika dirangkum, tujuannya adalah ‘slamet’. Slamet bagi diri sendiri, slamet bagi keluarga, slamet bagi masyarakat, serta slamet atau kebahagiaan dunia dan akhirat. Untuk mencapai slamet secara keseluruhan, ajaran Jawa mengajarkan cara berhati-hati. Setiap masalah dipertimbangkan dengan baik dan diputuskan dengan matang.
Selanjutnya, ada ‘ngelmu petung’ yang digunakan untuk meramalkan tindakan yang tepat guna mencapai slamet. Salah satu yang paling populer adalah petung owah gingsir, yang berhubungan dengan ‘alam semesta’ yang disebut Primbon Wuku dan Wetonan. Primbon Wuku dan Wetonan mencakup pengetahuan yang kompleks dan rumit, sehingga banyak yang tidak percaya akan kegunaannya. Bahkan ada yang menganggapnya sebagai ilmu mistis dan menakutkan.
Namun, sebenarnya itu merupakan sarana untuk berhati-hati dan juga menggunakan pengetahuan yang lebih luas, yaitu pengetahuan tentang hubungan dengan alam semesta. Para leluhur Jawa sebenarnya bisa melihat hubungan dengan alam semesta berdasarkan perjalanan waktu. Di berbagai budaya lain, hal semacam ini dikenal sebagai ‘perjalanan waktu’. Namun, para leluhur Jawa yang memiliki ‘kesadaran semesta’ melihat pengaruh alam semesta terhadap kehidupan manusia.
Pengetahuan tentang hubungan dengan alam semesta dalam ajaran Jawa mencakup beberapa aspek, antara lain:
  1. Pasaran (Pancawara), yang terdiri dari 5 hari:
    • Kliwon (Kasih)
    • Legi (Manis)
    • Paing (Jenar)
    • Pon (Palguna)
    • Wage (Cemengan, Kresna, Langking)
  2. Paringkelan (Sadwara), yang terdiri dari 6 hari:
    • Tungle
    • Aryang
    • Warukung
    • Paningron
    • Uwas
    • Mawulu
  3. Padinan (Saptawara), yang terdiri dari 7 hari:
    • Akat atau Minggu (Dhite, Radhite, Radhitya)
    • Senen (Soma)
    • Selasa (Anggara)
    • Rebo (Budha)
    • Kemis (Respati, Wrahaspati)
    • Jumuwah (Sukra)
    • Saptu (Tumpak, Saniscara)
  4. Padewan (Hastawara), yang terdiri dari 8 hari:
    • Sri
    • Indra
    • Guru
    • Yama
    • Rudra

Leave a Comment