Neng Ning Nung Nang, Hakikat Manusia

Neng Ning Nung Nang, Hakikat Manusia

Neng Ning Nung Nang

Neng Ning Nung Nang, Hakikat Manusia
Menggali Hakikat Manusia Neng Ning Nung Nang dari Satu Kesatuan yang Tak Terpisahkan.
Pertanyaan yang sederhana namun dalam tentang siapa sejatinya diri kita sebagai manusia seringkali menimbulkan jawaban yang kompleks dan beragam. Setiap orang memiliki cara pandang dan pemahaman yang unik terkait dengan kesejatian Tuhan. Mengenali Sang Pencipta dapat diibaratkan sebagai menembus samudra misteri yang begitu dalam. Manusia hanya mampu memahami sebagian kecil dari kompleksitas Tuhan, dan bahkan pemahaman itu sendiri belum tentu benar dan akurat. Tuhan jauh lebih besar dan abadi, sementara manusia hanya sekecil butiran garam. Perbandingan antara Tuhan dan makhluk-Nya memang tak terbandingkan. Namun, lebih baik untuk mencoba memahami dan mengenali Tuhan sekalipun hanya dengan pemahaman yang terbatas, daripada tidak sama sekali.
Dalam diri manusia, terdapat dua elemen atau unsur entitas yang sangat berbeda namun tak terpisahkan. Dalam pandangan ekstrem, kedua elemen ini dianggap bertentangan satu sama lain. Namun, keduanya saling melengkapi dan menjadi satu kesatuan yang utuh. Memisahkan kedua elemen ini akan mengubah eksistensi kehidupan manusia itu sendiri. Seperti halnya baterai yang memiliki dimensi fisik dan dimensi energi, kedua dimensi tersebut menyatu menjadi satu kesatuan yang menjadi eksistensi baterai beserta fungsinya. Dalam konteks manusia, elemen atau unsur tersebut adalah yang immaterial dan material, metafisik dan fisik, roh dan jasad, rohani dan jasmani, serta elemen Ilahi atau Tuhan dan elemen bumi (elemen gaib dan elemen material).

Eksistensi Manusia

Kehadiran Elemen Bumi dalam Eksistensi Manusia

Jasad manusia terbentuk oleh elemen-elemen material bumi, yaitu air, tanah, udara, dan api. Elemen atau unsur ini secara alami terurai dalam tubuh manusia melalui proses ilmiah yang dapat dijelaskan melalui rumusan ilmu pengetahuan manusia, serta melalui proses alamiah yang mengikuti rumusan-rumusan yang telah ditetapkan oleh Tuhan. Elemen tanah dan air yang telah mengalami proses tersebut akan berubah bentuk dan menjadi bahan dasar bagi tubuh manusia yang terdiri dari daging, tulang, sumsum, dan darah. Sementara itu, elemen udara berperan dalam proses pernapasan, di mana ia berubah menjadi molekul oksigen dalam darah dan sel-sel tubuh. Elemen api berperan sebagai elemen pembakaran yang memfasilitasi proses produksi tubuh, memberikan energi magnetik, dan mengolah elemen tanah dan air menjadi bahan dasar tubuh.
Jasad, yang dalam terminologi Barat disebut sebagai body atau corpus, merupakan wadah atau tempat bagi elemen Ilahi atau Tuhan dalam diri manusia. Namun, wadah ini tidak memiliki sifat keabadian (baqa’), karena ia terdiri dari bahan baku yang berasal dari bumi dan terikat oleh rumus-rumus yang mengalami kerusakan sebagaimana halnya bumi itu sendiri.

Keberadaan Elemen Tuhan dalam Eksistensi Manusia

Sebaliknya, elemen Ilahi atau Tuhan bersifat kekal dan abadi, tidak mengalami kerusakan seperti halnya elemen atau unsur bumi. Elemen Tuhan, yang diwakili oleh aspek metafisik manusia yaitu roh, merupakan aspek yang paling akhir dan paling erat terhubung dengan substansi metafisik manusia (untuk informasi lebih lanjut, lihat postingan sebelumnya mengenai Mengungkap Misteri Tuhan). Roh diartikan sebagai spiritus, ruh, atau sukma. Roh ini memiliki sifat suci (roh kudus/ruhul kuddus) dan tidak terkontaminasi oleh polusi dan kelemahan-kelemahan dunia. Karakteristik utama roh adalah mengarahkan dirinya kepada kesucian Tuhan. Meskipun istilah-istilah seperti jiwa, hawa, nafas, atau animus (dalam bahasa Yunani) memiliki perbedaan, namun maknanya hampir sama.
Elemen roh ini merupakan representasi dari keberadaan Tuhan dalam manusia. Roh ini adalah bagian dari manusia yang memiliki keterhubungan yang sangat erat dengan Tuhan. Sifatnya yang suci dan bebas dari polusi duniawi menjadikan roh sebagai wujud keagungan Tuhan yang hadir dalam diri manusia.

Perpaduan Elemen Bumi dan Ilahi

Dalam tubuh manusia, terdapat dua elemen utama, yaitu elemen bumi dan elemen Ilahi. Antara kedua elemen ini, terdapat apa yang dapat disebut sebagai “penghubung” atau dalam literatur Barat dikenal sebagai jiwa atau soul (meskipun istilah ini mungkin kurang tepat), dalam Islam disebut nafs, dalam bahasa Yunani disebut anemos, dan dalam bahasa Indonesia disebut hawa, atau dalam budaya Jawa dikenal sebagai nyawa (badan alus). Hawa, jiwa, anemos, soul, atau nyawa merupakan satu entitas yang memiliki makna yang serupa, berfungsi sebagai penghubung atau “lem” antara roh (spirit) dan jasad (tubuh).
Dalam konteks hermeneutika dan bahasa yang ada di Nusantara, terdapat perbedaan dan tumpang tindih dalam memberikan makna pada jiwa, sukma, roh, dan nyawa. Hal ini menunjukkan bahwa pemahaman terhadap elemen Ilahi dalam diri manusia tidaklah sederhana dan sejelas yang diungkapkan. Karena sifatnya yang gaib, bukan objek material, berbagai sudut pandang dan interpretasi yang berbeda menghasilkan beragam makna yang kadang saling bertentangan. Oleh karena itu, dalam paparan ini, akan dijelaskan dengan lebih jelas pemetaan mengenai jiwa atau hawa dari sudut pandang yang diperoleh melalui pengalaman metafisika dan intuisi, dengan tujuan untuk memberikan pemahaman yang netral dan mudah dipahami oleh siapa pun tanpa memandang latar belakang agama. Dalam hal ini, kami akan menggunakan perspektif Javanisme atau kejawen, dengan menggunakan gaya penulisan yang sederhana dan “berakar pada bumi”.
<a href="https://www.pshterate.com/"><img src="Neng Ning Nung Nang Eksistensi Manusia.png" alt="Neng Ning Nung Nang, Hakikat Manusia"></a>

Keterikatan Manusia dan Ilahi

Harmoni Antara Unsur Ilahi dan Unsur Bumi dalam Perjalanan Kehidupan

Setiap kali seorang bayi dilahirkan, ia membawa kehadiran yang suci, seperti sehelai kertas putih yang bersih. Keharuman kesucian ini terletak dalam alam bawah sadarnya, dalam hawa atau nafs yang masih murni, belum tercemar oleh “polusi” dunia. Hawa, nyawa, atau nafs diuji di antara dua kutub, yaitu kutub jasmani yang berpusat pada tubuh fisik dan kutub spiritual yang berpusat pada roh. Unsur roh ini memiliki kebersihan yang tak tersentuh oleh kelemahan materi dunia, seperti dosa. Roh yang suci berfungsi sebagai “utusan” Tuhan dalam diri manusia, membawa petunjuk dan pedoman hidup. Dalam perspektif Jawa, roh yang suci ini dikenal sebagai Guru Sejati. Guru Sejati hadir sebagai penasihat bagi hawa, jiwa, atau nafs.
Guru Sejati memancarkan cahaya kebenaran dari Tuhan, seperti obor yang menerangi jalan. Dalam perjalanan hidup, Guru Sejati berperan sebagai penuntun yang membimbing manusia menuju kebenaran yang sejati. Dengan mengikuti petunjuk Guru Sejati, hawa, jiwa, atau nafs kita dapat menemukan harmoni antara unsur Ilahi dan unsur bumi dalam diri kita. Melalui perpaduan yang sempurna antara roh yang suci dan tubuh jasmani, kita dapat meraih keselarasan dan keseimbangan dalam kehidupan.
Perjalanan kita menuju kesempurnaan adalah perjalanan yang penuh makna. Melalui pengajaran dan petunjuk yang diberikan oleh Guru Sejati, kita dapat menjalani kehidupan dengan penuh kesadaran dan pengertian. Dalam setiap langkah yang kita ambil, kita dapat merasakan kehadiran Tuhan dalam diri kita dan mengalami kedamaian yang mendalam. Kebersamaan kita dengan unsur Ilahi memberi arti yang mendalam bagi eksistensi kita sebagai manusia, menghidupkan semangat optimisme dan memancarkan sinar harapan di sekitar kita.
Dalam mencari jati diri kita sebagai manusia, penting bagi kita untuk menggali hubungan yang kokoh antara unsur Ilahi dan unsur bumi dalam diri kita. Dengan menghormati kedua aspek ini dan menghargai peran yang mereka mainkan, kita dapat mengembangkan potensi kita sepenuhnya dan menjalani kehidupan yang bermakna. Dalam kebersamaan dengan Tuhan, kita menemukan kekuatan untuk mengatasi tantangan dan menginspirasi orang lain dengan teladan kita. Bersama-sama, kita dapat menggapai kebahagiaan dan memberi kontribusi positif bagi dunia di sekitar kita.

Hawa Nafsu: Keseimbangan Antara Nafsu Positif dan Nafsu Negatif

Hawa atau jiwa, ketika tunduk pada pengarahan roh suci (guru sejati), akan menghasilkan nafsu yang positif, yang dalam bahasa Arab disebut an-nafs al-muthmainah. Di sisi lain, jika jiwa atau hawa terjatuh pada keinginan jasad, disebut sebagai nafsu negatif. Nafsu negatif ini terdiri dari tiga bentuk, yaitu nafsu lauwamah (kepuasan biologis seperti makan, minum, tidur, dan sebagainya), nafsu amarah (rasa marah dan kemarahan), dan nafsu sufiyah (pengejaran kenikmatan psikis seperti seks, kesombongan, narsisme, dan keinginan untuk dipuji).
Hawa memiliki dua kutub nafsu yang bertentangan, seperti sisi-sisi mata uang yang tak terpisahkan. Namun, kedua sisi ini tidak dapat dilihat secara bersamaan. Jika kita ingin melihat angka di mata uang, maka kita meletakkan nilai nominal di sisi atas, tetapi jika kita ingin melihat gambar burung, kita meletakkan gambar angka di bawah. Jika ada seseorang yang mengaku mampu melihat kedua sisi mata uang secara bersamaan, maka itu hanya merupakan kesia-siaan dan kepalsuan dalam kehidupan, berdasarkan klaim palsu.
Namun, penting bagi kita untuk mencapai keseimbangan antara nafsu positif dan nafsu negatif dalam diri kita. Nafsu positif, yang dihasilkan ketika jiwa tunduk pada roh suci, membawa kebaikan, kedamaian, dan kesejahteraan. Nafsu negatif, di sisi lain, jika tidak dikendalikan, dapat mengarahkan kita ke jalan yang salah dan menghasilkan kekacauan dalam hidup. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk memperkuat nafsu positif dalam diri kita, dengan mengembangkan kesadaran akan nilai-nilai yang baik, menjaga kendali diri, dan mengikuti petunjuk dari guru sejati.
Dalam menghadapi tantangan nafsu negatif, kita perlu memahami bahwa kehidupan yang sejati adalah perjalanan yang melibatkan pengendalian diri dan upaya terus-menerus untuk tumbuh dan berkembang. Dengan menjaga keseimbangan antara nafsu positif dan nafsu negatif, kita dapat mencapai harmoni dalam diri kita dan menjadi pribadi yang lebih baik. Dalam proses ini, kita harus berusaha untuk menjadi jujur dengan diri sendiri dan tidak terjebak dalam kepalsuan.

Kebebasan Manusia dalam Memilih Jalan Hidup

Ketika setiap bayi dilahirkan, Tuhan memberikan keadaan hawa yang suci dan tak ternoda. Manusia memiliki kebebasan untuk menentukan arah hawa nafsunya, apakah akan mengarah pada kesucian yang bersumber dari roh suci (ruhul kuddus), atau sebaliknya, akan condong pada keinginan duniawi yang melibatkan ragawi (unsur materi). Pilihan kita untuk mengarahkan hawa nafsu pada kebaikan atau keburukan akan berdampak pada hubungan kita dengan Tuhan, dan akan memiliki konsekuensi seperti dosa, karma, atau hukuman, baik dalam kehidupan ini maupun setelah kita menghadapi kematian.
Oleh karena itu, semua agama di dunia ini memiliki peran penting sebagai sarana pendidikan untuk membimbing hawa, nafsu, dan jiwa manusia agar senantiasa mengarahkan diri pada kehendak Tuhan atau qodratullah. Sumber pengetahuan dan “rumus Tuhan” (qodratullah) dapat kita temukan di “perpustakaan” atau gudang ilmu terdekat dengan diri kita, yaitu roh suci (Ruhul-Kuddus/Guru-Sejati/Sukma-Sejati/Rahsa-Sejati).
Terkadang, Tuhan yang Mahapemurah memberikan petunjuk-petunjuk tentang rahasia “ilmu Tuhan” melalui pintu hati (qalb) yang disinari oleh cahaya sejati (nurullah). Ungkapan ini sering disebut sebagai nurani, yang merupakan suara dalam hati yang mengarahkan kita. Petunjuk-petunjuk ini dapat dianggap sebagai wirayat, wahyu, risalah, sasmita gaib, ilham, atau wisik. Namun, dalam tulisan ini, kita tidak akan membahas model atau jenis-jenis petunjuk Tuhan tersebut.

Lelaku Prihatin Manusia

Laku Prihatin: Jihad yang Sejati

“Pengendalian” roh terhadap hawa nafsu negatif merupakan upaya untuk mengendalikan segala hal yang berhubungan dengan materi dan kenikmatan duniawi. Dalam konteks ilmu Jawa, hal ini merujuk pada jiwa yang tunduk pada kehendak sejati (kehendak Guru Sejati/Tuhan) dan menahan keinginan negatif hawa nafsu. Semua usaha yang mendukung proses “pengendalian” unsur Tuhan terhadap unsur bumi dalam tradisi Jawa disebut sebagai laku prihatin. Melalui laku prihatin, seseorang berharap jiwa mereka tidak terjajah oleh keinginan jasad. Dalam konteks spiritual Kejawen, laku prihatin menjadi syarat utama bagi seseorang dalam mencapai tingkat spiritualitas yang sejati. Seperti yang ditegaskan dalam serat Wedhatama (Jawa: Wredhotomo) karya KGPAA Mangkunegoro IV, bahwa pengetahuan itu dicapai melalui tindakan.
Dalam konteks Arab, laku prihatin dikenal sebagai aqabah, yang dapat diibaratkan sebagai jalan yang curam, sulit, dan menantang. Sebab, orang yang menjalani laku prihatin harus membebaskan diri dari perbudakan syahwat dan hawa nafsu negatif yang menjadi sumber kenikmatan duniawi. Dengan demikian, apa yang disebut sebagai jihad yang sejati adalah perang dalam hati antara tentara muslim dari hawa nafsu positif melawan tentara dari hawa nafsu negatif. Kemenangan dalam berjihad tercapai ketika seseorang berhasil “meledakkan bom” di pusat kekuasaan setan (hawa nafsu negatif) dalam hati kita. Bahan peledaknya adalah laku prihatin, olah batin, serta wara’ dan amar ma’ruf nahi munkar.

Menggapai Tujuan Utama dalam “Berjihad” (Laku Prihatin)

Perjalanan spiritual dalam bentuk laku prihatin memiliki tujuan utama untuk membentuk hawa nafsu positif atau nafsul muthmainnah. Ketika hawa nafsu atau jiwa tersebut berada dalam harmoni dengan rumus Tuhan (qodrat atau qudrah diri), yang dalam bahasa Sanskerta dikenal sebagai swadharma, maka roh tersebut dapat mencapai keadaan yang disebut syekinah dalam bahasa Ibrani. Syekinah merujuk pada kehadiran Tuhan yang turun ke dalam hati dan menguasai kebaikan. Namun, jika hawa nafsu lemah karena dorongan kuat dari nafsu negatif yang masuk ke dalam jasad melalui panca indera, kepribadian manusia akan dikuasai oleh “milisi” kekuatan batin yang disebut ego oleh Freud. Ego cenderung mengikuti keinginan jasad dan dunia materi. Oleh karena itu, tugas hawa (id) adalah untuk melawan keinginan ego dan mengalihkan perhatiannya kepada kekuatan hawa nafsu positif (super ego). Hasilnya, manusia dapat dikendalikan sesuai dengan kodratnya sebagai khalifah Tuhan. Dengan demikian, manusia tetap berada dalam lingkaran-Nya (qodrat/rumus Tuhan) dan mencapai cita-cita sebagai insan sejati, yaitu mencapai pencerahan sejati untuk meraih kebahagiaan spiritual yang tinggi.
Terasa dengan jelas bahwa Tuhan sungguh Maha Adil, karena setiap manusia tanpa kecuali dapat menemukan Tuhan melalui pintu hawa, jiwa, atau nafsunya masing-masing. Tuhan telah memberikan jiwa manusia kemampuan untuk menangkap sinyal-sinyal suci dari Yang Maha Suci. Sinyal-sinyal suci ini terletak dalam rahsa sejati (sirullah) dan roh sejati (ruhullah). Ini merupakan aturan yang telah ditetapkan oleh Tuhan. Ketika seseorang dapat mencapai dharma-nya atau kodrat dirinya sebagai makhluk ciptaan Tuhan, kehidupannya akan selalu mengalami kemudahan. Namun, hawa nafsu negatif (setan) selalu menggoda jiwa manusia agar cenderung mengikuti keinginan duniawi.
<a href="https://www.pshterate.com/"><img src="Makna Neng Ning Nung Nang.png" alt="Neng Ning Nung Nang, Hakikat Manusia"></a>

Mencapai Kemenangan Sejati dalam Perjalanan Hidup

Keterlibatan Neng Ning Nung Nang

Selama hidup, manusia terus berada dalam medan perang yang disebut “Baratayudha/Brontoyudho” (jihad), di mana kekuatan nafsu positif (Pendawa Lima) bertarung melawan nafsu negatif (100 pasukan Kurawa). Medan perang ini terletak di “Padang Kurusetra” (Kalbu), menjadi tempat pertempuran sejati (jihad fi sabilillah) atau pertempuran dalam mencapai kebenaran.
Kemenangan Pendawa Lima tidaklah mudah. Bahkan setelah pasukan Kurawa 100 dikalahkan, sulit untuk sepenuhnya menghilangkan dan menghapus mereka. Ini berarti bahwa walaupun hawa nafsu positif telah dimenangkan, nafsu negatif (setan) selalu siap untuk menyerang saat hawa nafsu terlalu lengah. Kejawen memberikan pengajaran mengenai berbagai cara untuk meraih kemenangan dalam pertempuran besar ini. Salah satunya adalah melalui laku prihatin, yang melibatkan empat tahapan yang harus dilalui dengan sungguh-sungguh. Keempat tahapan ini diilustrasikan dalam nada instrumen Gamelan Jawa, seperti Kempul, Kenong, dan Bonang, yang menghasilkan bunyi “Neng, Ning, Nung, Nang”.
Perjalanan ini merupakan perjuangan yang tak kenal lelah, namun memiliki tujuan yang mulia. Dalam setiap langkah, manusia harus melawan dan mengatasi nafsu negatif yang menghalangi pertumbuhan spiritual dan pencapaian pribadi yang sejati. Dalam pertempuran ini, kekuatan batin yang kuat dan laku prihatin yang tekun menjadi kunci untuk mencapai kemenangan sejati. Dengan menguasai diri dan mengarahkan hawa nafsu pada kebaikan, manusia dapat mencapai pencerahan dan mencapai kemenangan yang abadi.

Makna Neng Ning Nung Nang

Menggapai Kemenangan Melalui Tahapan Laku Prihatin
Dalam perjalanan spiritual, terdapat empat tahapan penting dalam laku prihatin yang membawa seseorang menuju kemenangan dan pencerahan yang sejati. Setiap tahapan memiliki makna dan tujuan yang berbeda namun saling terkait, membentuk satu kesatuan yang utuh.

Neng

Pertama, “Neng” mengacu pada kesadaran diri dan kebangkitan batin. Melalui tahapan ini, kita sadar akan tujuan kita dalam melakukan tirakat, semedi, dan meditasi yang melibatkan pengheningan pikiran dan kesadaran kita. Dalam keadaan ini, kita mampu mematikan kesadaran jasmani dan memfokuskan diri pada frekuensi gelombang Tuhan.

Ning

Kedua, “Ning” mengarah pada penyambungan daya cipta (akal-budi) dengan daya rasa-sejati yang merupakan sumber cahaya suci. Dalam keadaan kesadaran yang hening, kita menciptakan kedamaian dalam batin kita dan menghubungkan pikiran dengan intuisi yang mendalam. Dalam keadaan “mati raga” ini, kita mencapai keadaan batin yang tenang dan fokus, seolah berada di alam “awang-uwung”, namun jiwa tetap terjaga dalam kesadaran batiniah. Dalam keadaan ini, kita dapat menangkap sinyal gaib dari sukma sejati.

Nung

Ketiga, “Nung” berarti kesinungan. Jika kita berhasil mencapai tahapan Neng dan Ning, kita akan dipilih dan mendapatkan anugerah agung dari Tuhan Yang Mahasuci. Dalam kesinungan yang sejati, cahaya suci Tuhan mengalir melalui batin kita, ditangkap oleh roh atau sukma sejati, dan dialirkan kepada jiwa untuk diwujudkan dalam perilaku yang utama (lakutama). Perilaku kita menjadi konstruktif dan bermanfaat bagi banyak orang.

Nang

Terakhir, “Nang” bermakna kemenangan. Orang yang terpilih dan memiliki kesinungan akan menjaga dan melanjutkan perbuatan baiknya. Amal perbuatan baik yang tak terhitung akan menjadi benteng bagi dirinya sendiri. Ini adalah buah dari kemenangan dalam laku prihatin. Kemenangan ini berupa anugerah dan kenikmatan dalam berbagai bentuknya, serta meraih kehidupan yang sejati. Kehidupan ini memberikan manfaat (rahmat) bagi seluruh makhluk dan alam semesta. Seseorang yang mencapai kehidupan sejati akan merasakan kecukupan, kedamaian lahir dan batin, dan tidak mudah terkena celaka oleh orang lain. Selalu ada keberuntungan dalam hidupnya, dan ia meraih pengetahuan yang bermanfaat (ngelmu beja).
Dalam kesimpulannya, empat tahapan laku prihatin membentuk perjalanan spiritual yang mengarah kepada kodrat (Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu). Setiap tahapan memiliki perannya masing-masing, mulai dari syariat (Neng), tarekat (Ning), hakekat (Nung), hingga makrifat (Nang). Dalam kesatuan empat tahapan ini, manusia mencapai kehidupan yang sejati, di mana kemenangan, kedamaian, dan keberuntungan menjadi bagian tak terpisahkan dari perjalanan spiritualnya.

Populer

Flashnews