Ramalan Prabu Jayabaya

Ramalan Prabu Jayabaya

Prabu Jayabaya

<a href="https://www.pshterate.com/"><img src="Prabu Jayabaya.jpg" alt="Ramalan Prabu Jayabaya"></a>
Perjalanan waktu membawa kita kembali pada era megah Kerajaan Panjalu, di bawah kebijaksanaan seorang Raja agung bernama Prabu Jayabaya. Nama-nama gelar yang menghiasi abhisekanya, seperti Sri Maharaja Sang Mapanji Jayabhaya Sri Warmeswara Madhusudana Awataranindita Suhtrisingha Parakrama Uttunggadewa, mencerminkan kebesaran dan kemegahan pemerintahannya pada sekitar tahun 1135-1159 M.
Dalam rentang pemerintahannya yang penuh gemilang, Prabu Jayabaya menyisipkan jejak-jejak sejarah berharga bagi Nusantara. Prasasti Hantang (1135 M), Prasasti Talan (1136 M), dan Prasasti Jepun (1144 M) menjadi bukti nyata kebesaran Kerajaan Panjalu. Namun, warisan paling khas yang ditinggalkan adalah Jangka Jayabaya, kitab ramalan yang hingga kini dipandang memiliki “tuah” dan kebenaran yang masih relevan.
Salah satu ramalan Jayabaya yang telah melintasi waktu adalah tentang para pemimpin negeri ini. Dalam kearifan kuno, Prabu Jayabaya meramalkan dengan tajam dan bijaksana tentang masa depan bangsa ini. Kitab ramalan ini menjadi saksi bisu dari penglihatan serta pemahaman mendalamnya tentang peristiwa-peristiwa mendatang.
Sang Raja, yang juga dikenal sebagai pemimpin dari Kerajaan Kediri atau dulu disebut Kerajaan Doho di Jawa, merupakan sosok yang memiliki wawasan jauh ke depan. Ia menerima ramalan-ramalan berharga dari seorang pendeta terkemuka, Maulana Ali Samsujen (Maulana Ali Samsuddin). Ramalan ini meliputi berbagai peristiwa yang berhubungan dengan penanaman orang di pegunungan Kendenag, serta ramalan menarik tentang Pulau Jawa dan masa depannya.
Melalui berbagai ramalan ini, Prabu Jayabaya memberikan kilas balik cahaya ke masa lalu dan juga menyingkapkan potret cemerlang masa depan Nusantara. Meskipun berada pada zaman yang berbeda, tetapi esensi ramalan-ramalan ini tetap menggugah semangat optimisme kita.
Kita dapat memandang masa depan dengan keyakinan, bahwa meskipun zaman berganti, tetapi semangat kearifan dan pandangan jauh ke depan dari Prabu Jayabaya masih menginspirasi kita hari ini. Dengan penuh semangat, kita dapat mengarungi cakrawala masa depan Nusantara, mengambil pelajaran dari masa lalu, dan menggenggam peluang-peluang gemilang yang menanti di hadapan kita.
    1. Penanaman Orang di Pegunungan Kendenag:

Pada tahun 437, seorang utusan dari Sultan Galbah di Rum menanamkan orang-orang sebanyak 12.000 keluarga di pegunungan Kendenag, Pulau Jawa. Mereka ditempatkan di sana untuk membuka hutan dan bekerja. Namun, selama pekerjaan mereka, banyak yang meninggal karena gangguan dari makhluk halus seperti jin dan lain sebagainya.

    1. Penanaman Orang dari Berbagai Negara:

Sultan Rum memerintahkan penanaman orang di Pulau Jawa dan kepulauan lainnya, dan kali ini orang-orang tersebut diambil dari India, Kandi, dan Siam. Tidak disebutkan secara spesifik kapan peristiwa ini terjadi, tetapi ini merupakan penanaman orang yang kedua kalinya setelah kejadian di pegunungan Kendenag.

    1. Lamanya Penanaman Orang di Pulau Jawa:

Maulana Ali Samsujen meramalkan bahwa sejak penanaman orang-orang di Pulau Jawa yang kedua kalinya, hingga hari kiamat, akan terhitung selama 2.100 tahun matahari. Tidak ada keterangan lebih lanjut mengenai ramalan-ramalan spesifik yang terdapat dalam kitab Musaror.

    1. Hajar Subroto di G. Padang:

Sang pendeta menyatakan bahwa orang di Jawa yang mendapat ilmu dan pengetahuan mengenai isi ramalan tersebut hanyalah Hajar Subroto di G. Padang. Tidak ada informasi lebih lanjut mengenai siapa Hajar Subroto dan perannya dalam meneruskan ramalan tersebut.

Ramalan-ramalan ini memberikan pandangan tentang sejarah dan masa depan Pulau Jawa dan mungkin dianggap sebagai bagian dari tradisi mitos atau kepercayaan spiritual pada masa lalu. Penting untuk diingat bahwa ramalan ini terjadi dalam konteks legenda dan mitologi kuno, sehingga keakuratannya tidak dapat diandalkan secara ilmiah.
Raja Panjalu
Berkuasa 1135 – 1159
Pendahulu Sri Bameswara
Penerus Sri Sarweswara
Informasi pribadi
Kelahiran Daha, Jawa Timur
Kematian 1179, Pamenang, Kediri
Pemakaman
Pamuksan Sri Aji Joyoboyo
Desa Menang, Kecamatan Pagu
Kabupaten Kediri, Jawa Timur
Wangsa Isyana
Ayah Gendrayana
Anak Jaya Amijaya, Dewi Pramesti, Dewi Pramuni, Dewi Sasanti
Agama Hindu

Gelora Ramalan Pulau Jawa: Suatu Epik Tri-takali

1. KALI-SWARA: Masa Permulaan Kebangkitan Alam

Dahulu kala, Pulau Jawa dihiasi oleh cahaya keajaiban yang mempesona. Jaman permulaan ini dikenal sebagai KALI-SWARA, momen magis berlangsung selama 700 tahun matahari, setara dengan 721 tahun bulan penuh. Suatu era di mana alam begitu bersemangat menunjukkan eksistensinya.
Terdengarlah dentuman guruh yang membelah langit, menyatu dengan gerauan halilintar yang mempesona. Keajaiban-keajaiban luar biasa terjadi ketika banyak manusia meraih derajat dewa, dan para dewa dengan rendah hati turun ke bumi menjadi manusia. Saat-saat penuh geger dan keajaiban ini menjadi saksi betapa koneksi antara manusia dan alam semesta saling berpadu harmonis.

2. KALI-YOGA: Zaman Perubahan dan Reinkarnasi

Melangkah maju menuju KALI-YOGA, masa pertengahan yang memenuhi Pulau Jawa dengan perubahan mendalam. Bumi ini bergemuruh dan belah, menciptakan pulau-pulau kecil yang muncul bagai permata di lautan luas. Makhluk-makhluk yang terkadang tersesat menemukan jalan pulang melalui reinkarnasi.
Pada saat-saat berharga ini, nyawa-nyawa yang tiada terhitung banyaknya menjelma kembali dalam bentuk yang berbeda. Proses nitis yang tak terelakkan menyatukan manusia dengan alam, menjalin kisah tak terputus antara mereka yang hidup dan mereka yang telah berpulang.

3. KALI-SANGARA: Masa Menyeimbangkan Kehidupan

Namun janganlah merasa putus asa, karena KALI-SANGARA telah tiba, mengandung keajaiban dalam kurun waktu 700 tahun. Hujan yang salah sasaran menguji kesabaran, tetapi sungguh banyak kali dan bengawan yang bergeser membawa pelajaran berharga.
Pulau Jawa menghadapi tantangan, namun keteguhan hati dan semangat manusia tak tergoyahkan. Mereka bertahan meski bumi kurang bermanfaat, menghadapinya dengan bijaksana, dan menghadirkan kebahagiaan di tengah-tengah tantangan. Ilmu pengetahuan yang telah diwariskan dari para leluhur menjadi pijakan kebijaksanaan bagi mereka yang melanjutkan perjalanan hidup.
Dari Tri-takali yang tak tergoyahkan ini, Pulau Jawa telah menorehkan kisah penuh optimisme dan semangat juang. KALI-SWARA mengajarkan tentang keterhubungan dan keajaiban alam semesta, KALI-YOGA membawa pesan perubahan dan reinkarnasi, dan KALI-SANGARA melambangkan semangat bertahan dan keseimbangan kehidupan.
Inilah Pulau Jawa, negeri yang terus berkembang dan menampilkan kekuatan dalam menjalani takdirnya. Ramalan ini menjadi pijakan bagi kita semua untuk menghargai sejarah yang penuh warna dan menghadapi masa depan dengan penuh optimisme.
<a href="https://www.pshterate.com/"><img src="Arca Prabu Jayabaya 2.jpg" alt="Ramalan Prabu Jayabaya"></a>

Epik Pulau Jawa: Mengarungi Tiga Zaman Kejayaan

Pulau Jawa menyimpan kisah-kisah besar dalam perjalanannya melintasi tiga zaman kejayaan yang memikat. Setiap zaman terbagi menjadi Saptama-kala, merangkum jaman-jaman kecil yang berumur rata-rata 100 tahun matahari, setara dengan 103 tahun bulan penuh. Mari kita telusuri esensi dari ketiga zaman ini:

A. Zaman KALI-SWARA: Panggung Keajaiban

Zaman ini terbagi dalam beberapa kala yang mempesona:
  1. Kala-kukila (Tahun 1-100): Orang hidup seperti burung, berjuang dalam persaingan ketangguhan. Belum ada raja yang memerintah, dan tatanan sosial masih dalam tahap awal.
  2. Kala-buddha (Tahun 101-200): Awal mula orang Jawa memeluk agama Buddha, mengikuti ajaran Hyang Agadnata (Batara Guru).
  3. Kala-brawa (Tahun 201-300): Orang Jawa mengabdikan ibadah kepada para Dewa, seiring dengan banyaknya Dewa yang turun ke bumi menyebarkan ilmu pengetahuan.
  4. Kala-tirta (Tahun 301-400): Banjir besar melanda, air laut menggenangi daratan, membelah bumi menjadi dua bagian. Bagian barat disebut pulau Sumatra, sementara banyak sumber air muncul, seperti umbul, sedang, dan telaga.
  5. Kala-swabara (Tahun 401-500): Masa keajaiban di mana fenomena luar biasa sering terjadi dan memukau manusia.
  6. Kala-rebawa (Tahun 501-600): Orang Jawa merayakan berbagai festival seni dan budaya yang menghias kehidupan mereka.
  7. Kala-purwa (Tahun 601-700): Banyak keturunan orang-orang besar yang awalnya menjadi biasa kini kembali menjadi tokoh besar.

B. Zaman KALA-YOGA: Panggung Perubahan dan Inspirasi

Zaman KALA-YOGA menghadirkan perubahan dan inspirasi yang mengagumkan:
  1. Kala-brata (Tahun 701-800): Orang mengalami hidup sebagai fakir, mengajarkan tentang ketekunan dan kesederhanaan.
  2. Kala-drawa (Tahun 801-900): Banyak orang mendapatkan ilham dan mampu memahami hal-hal gaib dengan bijak.
  3. Kala-dwawara (Tahun 901-1.000): Kejadian-kejadian yang mustahil terjadi, mempertanyakan batasan-batasan yang ada.
  4. Kala-praniti (Tahun 1.001-1.101): Banyak orang mementingkan pemikiran yang mendalam, merangkul kebijaksanaan dan intelektualitas.
  5. Kala-teteka (Tahun 1.101-1.200): Banyak pendatang dari negeri-negeri lain datang ke Pulau Jawa, membawa kekayaan kultur yang beragam.
  6. Kala-wisesa (Tahun 1.201-1.300): Banyak orang dihukum akibat perbuatannya, mengajarkan pentingnya etika dan keadilan.
  7. Kala-wisaya (Tahun 1.301-1.400): Banyak fitnah dan intrik yang mewarnai zaman ini, menggugah kesadaran akan pentingnya kejujuran.

C. Zaman KALA-SANGARA: Panggung Keseimbangan dan Kesejahteraan

Zaman terakhir, KALA-SANGARA, mengajarkan tentang keseimbangan dan kesejahteraan:
  1. Kala-jangga (Tahun 1.401-1.500): Banyak orang menunjukkan kehebatan dan prestasi luar biasa dalam berbagai bidang.
  2. Kala-sakti (Tahun 1.501-1.600): Orang-orang mengeksplorasi dan menguji batas kesaktian diri, menginspirasi yang lain dengan kemampuan yang luar biasa.
  3. Kala-jaya (Tahun 1.601-1.700): Banyak orang menunjukkan kekuatan dan keteguhan dalam menghadapi tantangan kehidupan.
  4. Kala-bendu (Tahun 1.701-1.800): Banyak perdebatan dan pertentangan terjadi, namun pada akhirnya membawa pemahaman yang lebih dalam.
  5. Kala-suba (Tahun 1.801-1.900): Pulau Jawa mulai mencapai sejahtera, kehidupan menjadi harmonis, dan orang-orang hidup dengan sukacita.
  6. Kala-sumbaga (Tahun 1.901-2.000): Banyak orang terkenal dengan kemampuan dan kehebatannya yang menakjubkan.
  7. Kala-surasa (Tahun 2.001-2.100): Pulau Jawa merayakan keberhasilan dan kebahagiaan yang meliputi segala aspek kehidupan, dijalani dengan keselarasan dan ketertiban.
Dalam perjalanan epik Pulau Jawa ini, terbentang cerita-cerita inspiratif yang memancarkan semangat juang dan optimisme. Ketiga zaman tersebut mengajarkan kita untuk menghargai masa lalu, mengambil pelajaran dari perubahan, dan membangun masa depan yang cerah. Pulau Jawa, tanah yang subur dan mempesona, menggelorakan semangat kehidupan dan keberhasilan yang tak tergoyahkan.
Jaya-amijaya diterima oleh sang pendeta Ali Samsujen, maka pulanglah pendeta itu ke negerinya, diantar oleh Jayabaya dan Jaya-amijaya di Pagedongan hingga ke perbatasan. Sementara itu, Jayabaya dan putranya pergi ke Gunung Padang, disambut oleh Ajar Subrata dan diterima di sanggar semadinya. Sang Ajar berniat menguji sang Prabu yang terkenal sebagai inkarnasi Batara Wisnu, oleh karena itu ia memberikan isyarat kepada endang-nya (seorang pelayan wanita muda) untuk menyajikan hidangan yang terdiri dari:
  • Kunir (kunyit) satu akar
  • Juadah satu takir (mangkuk terbuat dari daun pisang)
  • Geti (biji wijen bergula) satu takir
  • Kajar (jenis ubi yang rasanya pahit memabukkan) satu batang
  • Bawang putih satu takir
  • Kembang melati satu takir
  • Kembang seruni (serunai; tluki) satu takir
Ajar Subrata menyerahkan hidangan tersebut kepada sang prabu. Seketika itu juga Prabu Jayabaya menjadi marah dan menarik kerisnya, ia menusuk sang Ajar hingga mati, dan jenazahnya hilang tanpa bekas. Bahkan endangnya yang mencoba melarikan diri juga ditikam dan mati seketika.
Sang putera mahkota heran melihat kemarahan Sang Prabu yang membunuh mertuanya (Ajar Subrata) tanpa alasan yang jelas. Melihat putera mahkotanya bersedih, Prabu Jayabaya pulang dengan lembut berkata:
“Wahai anakku, janganlah sedih karena kematian mertuamu, sebab sebenarnya dia telah berdosa terhadap Kraton. Dia bermaksud mempercepat kejatuhan para raja di tanah Jawa yang belum terjadi. Hidangan sang Ajar adalah simbol dari hal-hal yang belum terjadi. Jika aku menerimanya, maka tidak akan ada kerajaan selain para pendeta yang dihormati oleh banyak orang, karena menurut guru saya, Baginda Ali Samsujen, semua ilmu Ajar tersebut sama dengan ilmu-ilmu yang saya miliki.”
Putera mahkota itu menundukkan kepala dalam pengertian, lalu meminta penjelasan tentang hidangan-hidangan sang pendeta dalam hubungannya dengan kraton-kraton yang bersangkutan.
Prabu Jayabaya menjawab:
“Dengarkanlah, anakku, bahwa aku adalah inkarnasi Wisnu Murti yang bertugas membawa kesejahteraan kepada dunia. Ini adalah inkarnasi saya yang kedua kalinya. Setelah inkarnasi di Kediri ini, saya akan menjadi Malawapati, dan yang terakhir di Jenggala. Setelah itu, saya tidak akan menjelma lagi di pulau Jawa, karena itu bukan lagi tugas saya. Apakah jagat ini rusak atau tidak, saya tidak terlibat di dalamnya, dan keadaan saya telah menyatu dengan keadaan di dalam kepala tongkat guru saya. Pada saat itu, hal-hal yang dilambangkan dengan hidangan Sang Ajar tadi akan terjadi. Ini berhubungan dengan tujuh tingkatan kerajaan yang saling bergantian dan memiliki peraturan yang berbeda. Sampaikanlah pesan ini kepada keturunanmu di masa depan.”
<a href="https://www.pshterate.com/"><img src="Arca Prabu Jayabaya 1.jpg" alt="Ramalan Prabu Jayabaya"></a>

7 Masa, terkait tentang 7 Kraton

Pada masa Anderpati di zaman Kalawisesa, ibu kota Pajajaran, keadilan dan peraturan belum berlaku secara adil. Orang-orang kecil harus mengorbankan emas sebagai pengabdian mereka. Hal ini dapat disimbolkan dalam suguhan Ajar berupa kunyit. Kerajaan itu akhirnya lenyap karena pertengkaran di antara saudara-saudaranya. Mereka yang kuat lebih suka berperang, sehingga negara mengalami keruntuhan.

1. Srikala Rajapati Dewaraja

Pada masa Srikala Rajapati Dewaraja, ibu kota Majapahit, ada upaya untuk menerapkan peraturan negara. Orang-orang kecil memberikan pengabdian berupa perak. Ini tercermin dalam suguhan Ajar berupa hidangan yang disajikan. Namun, setelah 100 tahun, kerajaan itu sirna karena pertikaian dengan putra-putranya sendiri.

2. Hadiyati di zaman Kalawisaya

Kemudian pada masa Hadiyati di zaman Kalawisaya, hukum keadilan dan peraturan negara mulai diberlakukan, dan ibu kota kerajaan berada di Bintara. Orang-orang kecil memberikan pengabdian berupa tenaga kerja. Ini dapat dilihat dalam suguhan berupa geti. Kerajaan itu kemudian sirna karena bertentangan dengan pemegang kekuasaan peradilan.

3. Kalajangga

Pada masa Kalajangga, seorang raja memerintah dengan bijaksana, ibu kotanya di Pajang. Pada masa ini, terdapat peraturan untuk menciptakan kerukunan dalam perkara. Orang-orang kecil memberikan pengabdian berupa hasil bumi dari desa-desa. Hal ini disimbolkan dalam suguhan Ajar berupa sebatang kajar. Kerajaan itu akhirnya sirna karena terlibat pertengkaran dengan putra angkatnya.

4. Kala Sakti

Kemudian pada masa Kala-sakti, seorang raja yang bijaksana memerintah di Bintara, ibu kotanya di Mataram. Pada masa ini, terdapat peraturan agama dan peraturan negara. Orang-orang kecil memberikan pengabdian berupa uang perak. Hal ini tercermin dalam suguhan Ajar berupa bawang putih.

5. Kala Jjaya

Pada masa Kala-jaya di pemerintahan raja yang angkara murka, kehidupan sulit bagi orang-orang kecil, ibu kotanya di Wanakarta. Orang-orang kecil memberikan pengabdian berupa uang sungguhan. Hal ini dilambangkan dalam suguhan berupa kembang melati. Posisi raja digantikan oleh saudara-saudaranya karena terkena kutuk. Bumi kehilangan manfaatnya, banyak orang menderita, ada yang tinggal di jalanan, ada yang di pasar. Karaton itu sirna karena terlibat pertengkaran dengan bangsa asing.

6. Kala Bendhu, Bedu

Pada masa Kala-bedu di zaman raja Hartati, manusia hanya menginginkan kekayaan semata. Karaton kembali berdiri di Pajang-Mataram. Orang-orang kecil memberikan pengabdian berupa berbagai macam, termasuk emas, perak, beras, padi, dan sebagainya. Hal ini disimbolkan dalam suguhan Ajar berupa bunga serunai. Namun, semakin lama, pajak yang dibebankan kepada orang-orang kecil semakin tinggi, termasuk senjata dan hewan ternak. Negara menjadi semakin rusak dan kacau karena perilaku buruk para pemimpinnya. Orang-orang kecil tidak dihormati. Raja tidak memiliki paramarta karena tidak ada lagi wahyu suci, dan banyak wahyu setan yang muncul. Tabiat manusia berubah-ubah.
<a href="https://www.pshterate.com/"><img src="Arca Prabu Jayabaya 4.jpg" alt="Ramalan Prabu Jayabaya"></a>

Perempuan Kehilangan Rasa Malu

Perempuan kehilangan rasa malu, tidak merindukan keluarga, tidak ada berita yang benar, banyak orang miskin, sering terjadi perang, orang yang bijaksana tertinggal, kejahatan merajalela, orang-orang tidak beradab tetap menonjol tanpa dihukum, banyak pencuri menghadang di jalan, banyak gerhana matahari dan bulan, hujan abu, gempa bumi sebagai tanda tahun, angin kencang, hujan mengenai yang tidak seharusnya, perang kacau, tidak ada ketentuan musuhnya.
Semua ini adalah lambang-lambang dari si Ajar yang mengandung berbagai maksud yang dirahasiakan dan ditemukan bersama Prabu Jayabaya. Saat itu, zaman Kalabendu sudah mendekati akhir. Kerajaan itu musnah karena bertentangan dengan pesaingnya (maru=madu). Kemudian datanglah zaman keagungan raja.
Pada saat ini, pulau Jawa menjadi sejahtera, semua penyakit dunia hilang, karena datangnya seorang raja yang gaib, yang merupakan keturunan utama yang disebut Ratu Amisan karena sangat hina dan miskin, berdirinya tanpa syarat sedikitpun, sang raja sangat bijaksana. Kratonnya bernama Sunyaruri, yang berarti sepi tanpa hambatan. Waktunya masih dirahasiakan oleh Tuhan yang mengubah keadaan menjadi kebalikannya. Sang raja menjadi seperti pendeta, adil dan mulia, menjauhi harta, disebut Sultan Herucakra.
Kedatangan ratu itu tanpa ada alasan, tidak membawa bencana bagi manusia, prajuritnya hanya Sirullah, keagungannya adalah berzikir, namun musuhnya takut. Mereka yang menjadi musuhnya jatuh dan hancur, karena raja menginginkan kesejahteraan negara dan keselamatan dunia secara keseluruhan.
Setiap tahunnya tidak ada batasan, hanya 7.000 uang real dan tidak boleh lebih. Pajak untuk satu petak tanah seluas satu jung (sekitar 4 bahu) adalah satu dinar per tahun, sedangkan pajak untuk seribu petak sawah adalah satu uwang per hari, tanpa kewajiban lainnya. Karena semuanya telah bertaubat dan takut akan kutukan, sang ratu yang adil berkuasa di tanah Pethikat dengan sungai Katangga, di dalam hutan Punhak. Terkepung di Karangbaya. Hingga akhirnya ia lenyap karena bertentangan dengan nafsunya sendiri.
Kemudian ada Ratu (raja) Asmarakingkin, yang sangat cantik penampilannya, menjadi buah pujian dan sanjungan dari para pengawalnya, beribukota di Kediri. Keturunannya yang ketiga pindah ke pulau Madura. Tidak lama kemudian, raja itu musnah karena bertentangan dengan kekasihnya.
Lalu ada 3 orang raja pada satu zaman, yaitu:
  • Memiliki ibu kota di bumi Kapanasan.
  • Memiliki ibu kota di bumi Gegelang.
  • Memiliki ibu kota di bumi Tembalang.
Setelah 30 tahun mereka saling bertengkar, akhirnya ketiganya lenyap. Pada saat itu tidak ada raja, para bupati di Mancapraja berdiri sendiri-sendiri karena tidak ada yang dianggap berkuasa.
Beberapa tahun kemudian, seorang raja dari negeri sabrang (asing) datang. Nusa Srenggi menjadi raja di Pulau Jawa dengan ibu kota di sebelah timur Gunung Indrakila, di kaki Gunung Candramuka. Beberapa tahun setelah itu, prajurit dari Rum (Roma) datang dan memerangi raja Nusa Srenggi. Raja Nusa Srenggi kalah dan musnah bersama pasukannya. Para prajurit dari Rum mengangkat seorang raja keturunan Herucakra, dengan ibu kota di sebelah timur Kali Opak. Negaranya menjadi lebih sejahtera dan disebut Ngamartalaya. Hingga pada keturunan ketiganya, usia Pulau Jawa mencapai 210 matahari. Ramalan tersebut dilanjutkan dengan “Lambang Praja” yang menggambarkan keadaan kerajaan-kerajaan di bawah ini dengan kata-kata yang indah.
<a href="https://www.pshterate.com/"><img src="Arca Prabu Jayabaya 3.jpg" alt="Ramalan Prabu Jayabaya"></a>

Cahaya Sejarah Nusantara Melalui Ramalan Jayabaya

Di negeri Nusantara, terhampar sejarah panjang yang memikat, penuh liku-liku, dari masa ke masa. Beberapa kerajaan berjaya, mengukir namanya dalam catatan zaman, sementara yang lain menghilang di tengah riak-riak waktu. Ramalan Jayabaya, suatu naskah misterius yang menjadi pusaka nenek moyang kita, menjadi saksi bisu perjalanan sejarah Nusantara.
Dalam lingkup teks ini, akan kita jelajahi delapan kerajaan agung yang telah menghiasi bumi Nusantara ini:
  • Janggala, kawasan subur di mana kebijaksanaan dan perdagangan berpadu harmonis.
  • Pajajaran, negeri indah yang dianugerahi kekayaan alam melimpah dan kearifan spiritual.
  • Majapahit, kerajaan megah yang menaklukkan gelombang lautan, menyebarkan budaya, dan mengukir kejayaan militer.
  • Demak, cikal bakal kekuatan Islam di Jawa, yang menawarkan pesan damai dan persaudaraan.
  • Pajang, penerus cemerlang Dinasti Mataram, yang meneruskan warisan kemegahan dari leluhur.
  • Mataram Kartasura, panggung gemilang seni dan kesusastraan yang menghiasi harapan di setiap barisnya.
  • Surakarta, penjaga tradisi dan kebijaksanaan, menjunjung tinggi nilai-nilai leluhur.
  • Jogjakarta, abadi dalam semangat perjuangan, menghidupkan nyawa bangsa dan mempertahankan kearifan lokal.
Namun, dari kesemua kemegahan yang disebutkan, beberapa nama tidak terdengar, seolah-olah tertutup kabut sejarah. Antara lain:
  1. Negara Ketangga Pethik tanah Madiun, mungkin pernah menyimpan kisah-kisah menarik yang belum terungkap sepenuhnya.
  2. Negara Ketangga Kajepit Karangboyo, juga mungkin menyimpan pesona dan cerita-cerita kebesaran yang belum tersebar luas.
  3. Kediri, negeri yang kini mungkin terabaikan, tetapi pernah menyumbang gemerlap sejarah Nusantara.
  4. Bumi Kepanasan, Gegelang (Jipang), Tembilang (Dekat Tembayat) — tempat-tempat yang menarik untuk diungkapkan misterinya.
  5. Ngamartalaya, entah bagaimana jejaknya telah terlupakan oleh waktu.
Meskipun demikian, kita perlu menyadari bahwa tidak semua naskah Ramalan Jayabaya mengandung “Lambang Praja.” Mungkin hal ini merupakan sebuah tambahan belaka, namun tidak dapat diabaikan begitu saja.
Melalui penjelajahan ini, kita harus mengakui bahwa sejarah adalah cerminan kebesaran dan kehancuran. Tidak hanya menyoroti puncak kejayaan, tetapi juga kenangan-kenangan yang terabaikan. Kita dapat membangun sebuah masa depan yang lebih baik dengan mengenali dan menghormati warisan nenek moyang kita.
Maka, marilah kita berjalan bersama-sama, membuka lembaran sejarah Nusantara dengan penuh semangat dan optimisme. Dalam kisah-kisah ini terdapat kekuatan argumentatif yang menunjukkan betapa beragamnya perjalanan peradaban kita. Semoga kita dapat menggali esensi dan kearifan dari setiap babak perjalanan, untuk membentuk masa depan yang gemilang bagi negeri kita tercinta.

Populer

Flashnews