Wirid Purba Jati
Setiap insan memiliki naluri ingin tahu mengenai hakikat Tuhan. Sudah menjadi kebiasaan manusia untuk membayangkan wujud sebenarnya Tuhan itu seperti apa. Dalam beberapa agama samawi, menggambarkan hakikat Tuhan dianggap sebagai “wilayah terlarang” atau domain yang harus dihindari, karena tidak dapat dibahas secara rinci dan jelas mengenai hakikat-Nya. Alasan di balik hal ini adalah karena Tuhan dianggap sebagai Keberadaan yang sangat suci. Manusia dianggap tidak mampu menggambarkan hakikat Tuhan dengan tepat dan berisiko mengalami kesalahan dalam pemahaman. Wajar saja, karena menggambarkan Tuhan secara sederhana dapat mengakibatkan konsekuensi negatif. Ada kemungkinan terjadinya “penyeragaman” dalam membayangkan Tuhan sebagai usaha manusia untuk membatasi imajinasi secara konkret. Oleh karena itu, dengan alasan tersebut diasumsikan bahwa upaya manusia dalam menggambarkan hakikat Tuhan dengan cara apapun pasti salah.
Namun demikian, berbeda halnya dengan agama-agama yang lebih “bumi” dan ajaran-ajaran lokal yang berusaha menggambarkan hakikat Tuhan dengan cara yang bijaksana dan hati-hati. Manusia berusaha menjelaskan secara logis dengan menggunakan prinsip hierarkis, sesuai dengan kemampuan akal, logika, dan hati nurani yang dimiliki. Mereka menempuh jalan spiritual dan melatih batin mereka dengan tekun, sambil memanfaatkan potensi akal budi (mesu budi) yang dimiliki.
Dalam perjalanan ini, mereka mengungkapkan sebuah rahasia yang menakjubkan, yaitu Wirid Purba Jati. Wirid Purba Jati adalah kunci untuk memahami keagungan Tuhan yang melampaui akal manusia biasa. Melalui kebijaksanaan dan pengetahuan yang mereka dapatkan dari generasi ke generasi, mereka memperoleh gambaran yang mendalam tentang kehadiran Tuhan dalam segala aspek kehidupan. Mereka mengajarkan bahwa Tuhan adalah sumber cinta dan harmoni yang meliputi alam semesta ini.
Dalam Wirid Purba Jati, manusia diajak untuk mengembangkan pemahaman yang lebih dalam tentang Tuhan melalui pengalaman spiritual dan peningkatan kesadaran. Mereka memandang Tuhan sebagai kekuatan yang mengalir dalam setiap jiwa manusia, memenuhi dunia dengan keindahan dan kebaikan. Melalui upaya mereka, manusia dapat mencapai pemahaman yang lebih tinggi tentang Tuhan dan memperkaya hubungan mereka dengan-Nya.
Pijakan Sasmita
Dzat Ilahi ialah mutlak, Jumenengnya Dzat Maha Wisesa yang Abadi Ora Owah Gingsir, dengan bahasa Timteng biasa disebutkan Qadim, yang kekal. Kalimat ini berniat memvisualisasikan “suatu hal tanpa nama” yang terdapat, berdikari, dan paling berkuasa, menangani jagat raya sejak awal kali tercipta. Dzat ini dikenali sebagai maha kuasa, yang bermakna jika Dzat ini tidak berbentuk tetapi datang menyerap ke energi hidup kita. Tetapi, banyak yang tidak pahami dan tidak memahami karena kehadirannya yang samar-samar, tanpa arah dan dasar yang terang, tanpa rekan, tanpa bentuk, tidak berbau, warna, dan rupa, dan tidak bisa digolongkan sebagai lelaki, wanita, atau banci. Dzat disimbolkan sebagai “kumbang anganjap ing tawang”, yakni kumbang yang hinggap pada udara, yang pada hakekatnya ialah “latekyun” (tidak terang) karena karakternya yang masih belum riil. Ini bermakna jika kehidupan ialah karakter dari Hyang Mahasuci, yang menyerap dan mencakup semua jagat raya dan didalamnya secara detail. Tidak ada lokasi yang tidak diterangi oleh Dzat. Semua jagat raya sarat dengan Dzat ini, tidak terdapat celah yang terlewati, baik “di luar” atau “dalam”. Dzat menyerap, mencakup, dan melingkari semua jagat raya. Berikut perumpamaan mengenai kehadiran Pangeran (Tuhan) Yang Mahasuci, yang tercermin di kehidupan individu kita.
Dzat merupakan asal mula segala sesuatu yang ada dalam jagad raya ini. Proses penciptaan makhluk-Nya oleh Dzat Yang Mahasuci dapat digambarkan dalam alur hierarkis sebagai berikut:
Dzat, Hyang Mahasuci, Maha Kuasa, Dzatullah,
Sebagai sumber dari segala sumber adanya jagad raya dan seluruh isinya.
Sebuah naluri yang mulia menyelimuti jagad ini, tak terlihat tetapi hadir dengan pasti. Hyang Mahasuci yang mengendalikan semua yang ada, menciptakan dan menata segala sesuatu dengan cermat. Dalam keberadaan ini, ada pancaran cahaya yang membentuk segala hal, tanpa batasan, tanpa suara. Itulah kuasa dari Hyang Mahasuci, dihormati dan dipuja: itulah awal terciptanya.
Kayu atau Kayyun
merupakan jiwa/atma/wasesa, menjadi perwujudan dari Dzat yang sejati, memancarkan energi kehidupan. Kayun ini mewujud karena diterangi oleh Dzat yang sejati. Digambarkan sebagai bunga yang tumbuh di langit, yang dalam tingkatannya disebut sebagai takyun awal, kebenaran awal yang murni. Segala sesuatu yang hidup dipenuhi dan diliputi oleh energi kehidupan ini.
Cahaya dan Teja, Nur, Nurullah
Merupakan pancaran yang lebih nyata dari kayun. Teja menjadi wujud segala yang hidup, karena disinari oleh kekuatan jiwa yang sejati. Dilambangkan sebagai bunga teratai yang hidup tanpa air. Cahaya berbeda dengan api, karena tidak memerlukan bahan bakar. Cahaya ini menjadi hakikat pancaran dari kehidupan itu sendiri. Di dalam cahaya tidak ada unsur nafsu, hakikatnya adalah ketenangan yang suci, tanpa memiliki rasa kepemilikan. Hakikatnya hanya untuk sujud/beribadah kepada Dzat Yang Maha Suci, digerakkan oleh energi kehidupan/kayun. Dalam tingkatannya, disebut sebagai takyunsani, kebenaran pertama yang mewujud. Jiwa yang mencapai kesempurnaan sejati, dalam alam jiwa kembali pada hakikat cahaya. Sebagai sifat hakiki “malaikat”.
Rahsa, Rasa, Sir, Sirullah
Menjadi perwujudan yang lebih nyata dari cahaya. Sumber rahsa berasal dari kecerahan cahaya yang sejati. Dilambangkan sebagai sesuatu yang tersembunyi, tidak tampak tetapi dapat dirasakan. Dalam tingkatannya, disebut sebagai akyansabitah. Keberadaannya menetes, menitis, dalam bentuk sebagai sir. Yakni, menetesnya cahaya menjadi pengalaman rasakan.
Ruh, Kehidupan, dan Kehendak Ilmu
Sebagai manifestasi dari hakikat rasa, terdapat roh, nyawa, sukma, dan ruhullah. Mereka merupakan perwujudan dari hakikat yang sejati. Rasa sejati diibaratkan sebagai seekor burung kuntul yang melayang-layang. Artinya, rasa yang tak terlihat namun hadir dalam eksistensi maya. Dalam tingkatan yang lebih tinggi, hal ini disebut sebagai akyankarijiyah. Rasa yang sejati muncul dalam bentuk pengalaman maya. Karena ruh dikelilingi oleh rahsa, ruh memiliki kehendak dan rasa, yang disebut kareping rahsa; kehendak rasa. Tugas utama dari ruh sejati adalah mengikuti kehendak rasa, bukan sebaliknya, membiarkan nafsu mengendalikan kehendak. Ruh suci harus menaklukkan nafsu.
Nafsu, angkara, merupakan turunan dari ruh, yang terpancar dari cahaya sukma yang sejati. Hakikat nafsu digambarkan sebagai tetes air api di dalam samudra. Nafsu adalah titik kekuatan “nyala api” yang ada di dalam samudra yang begitu luas. Artinya, nafsu dapat menjadi sumber keburukan/angkara yang muncul dalam eksistensinya. Hal ini juga disebut sebagai akyanmukawiyah, nafsu sebagai realitas yang “hidup” dalam eksistensinya. Paradoks dari tugas ruh adalah jika nafsu yang mengendalikan ruh, maka manusia hanya akan menjadi sekumpulan sampah atau hawa nafsu yang merusak. Mengikuti keinginan nafsu.
Akal-budi, juga dikenal sebagai indera, hadir berkat adanya nafsu. Ia digambarkan sebagai orang lumpuh yang mengelilingi bumi. Akal-budi berada di dalam nafsu. Tugas yang sangat berat bagi akal-budi adalah membimbing nafsu angkara menuju yang positif/terpuji. Dalam hal ini, diibaratkan sebagai orang lumpuh yang mengelilingi bumi. Hal ini juga disebut sebagai akyanmaknawiyah. Ketika akal-budi berhasil mengarahkan nafsu ke hal-hal positif yang tidak merusak, maka akan muncul nafsu baru, yaitu nafsul mutmainah.
Jasad, merupakan manifestasi paling nyata dari ruh (mahujud), dan merupakan turunan langsung dari panca indera yang sejati. Jasad menjadi sarana bagi sifat-sifat. Jasad adalah wadah bagi sifat, diibaratkan sebagai katak yang bersembunyi di dalam liangnya. Katak ini mewakili sifat manusia yang rendah, karena cenderung mengikuti nafsu, diselimuti oleh liang/rumah katak; liang adalah personifikasi dari jasad. Sifat-sifat manusia yang masih terikat pada jasad, merupakan gambaran dari sifat Tuhan yang masih terhalang dan dikendalikan oleh sifat kemuliaan Hidup Manusia dan Pencapaian Spiritual
Sebaliknya, ketika manusia mencapai kemuliaan hidup, hal ini digambarkan sebagai katak yang menyelimuti liangnya, ketika keberadaan jasadnya sudah “di dalam”. Ini berarti bahwa hakikat manusia sudah diliputi oleh sifat Tuhan.
Dalam perjalanan spiritual, manusia memiliki potensi untuk melampaui batasan jasad dan nafsu, dan mencapai kehidupan yang lebih tinggi. Dengan mengembangkan akal-budi yang bijaksana, mengendalikan nafsu, dan menyucikan jiwa, manusia dapat mencapai kesempurnaan hidup. Pencapaian ini melibatkan pengenalan diri yang mendalam, kesadaran akan hakikat sejati, dan hubungan yang erat dengan Dzat Yang Maha Suci.
Melalui pengembangan ruh yang suci dan pemahaman yang mendalam tentang kehidupan, manusia dapat mencapai keseimbangan dan harmoni. Dalam pencapaian ini, manusia membebaskan diri dari belenggu nafsu dan keterbatasan jasad, menuju kehidupan yang lebih bermakna dan penuh kebahagiaan.
Oleh karena itu, dalam perjalanan spiritual, manusia memiliki kesempatan untuk mengatasi hambatan-hambatan internal dan mencapai potensi penuh mereka sebagai makhluk yang unggul. Melalui kesadaran yang diperoleh dari pengalaman spiritual, manusia dapat mengatasi ego dan keinginan duniawi, dan mencapai kedamaian batin serta kesatuan dengan hakikat yang lebih tinggi.
Sistematika Menuju Dzat
Dalam perjalanan spiritual manusia, terdapat tangga-tangga yang membawa kita mendekatkan diri kepada Tuhan. Setiap tingkatan mengharuskan kita untuk melepaskan diri dari keterikatan dan penyempitan pandangan kita. Berikut adalah urutan tangga yang membawa kita menuju “bertemu” dengan Tuhan:
- Jasad ditarik oleh akal: Manusia memiliki tubuh jasmani yang kasar, namun di dalamnya terdapat akal budi yang bijaksana. Akal budi membimbing kita dalam mengenali Tuhan dan memahami jalan hidup yang benar.
- Akal ditarik oleh nafsu: Nafsu sering kali menggoda akal budi, mengajak kita pada keinginan-keinginan duniawi yang sementara. Tugas kita adalah mengendalikan nafsu dan mempertahankan kebijaksanaan akal budi.
- Nafsu ditarik oleh roh: Roh merupakan aspek spiritual dalam diri manusia. Ketika nafsu diarahkan oleh roh yang suci, kita dapat mencapai kehidupan yang penuh makna dan berlandaskan pada nilai-nilai spiritual.
- Roh ditarik oleh sir: Sir adalah cahaya suci yang memancar dari dalam diri kita. Ketika roh kita diiluminasi oleh cahaya suci ini, kita menjadi penuh kebijaksanaan, kebaikan, dan kedamaian.
- Sir ditarik oleh nur: Nur adalah pancaran cahaya Tuhan yang menerangi hidup kita. Ketika kita terhubung dengan nur Tuhan, kita mengalami kedamaian yang mendalam dan merasakan kasih yang tak terbatas.
- Nur ditarik oleh kayun: Kayun adalah energi kehidupan yang ada di dalam diri kita. Ketika energi kehidupan ini dipancarkan dengan penuh kesadaran dan tujuan yang baik, kita dapat mencapai harmoni dan keseimbangan dalam hidup.
- Kayun ditarik oleh Dzat: Dzat adalah Tuhan Yang Maha Abadi. Dalam pencarian kita menuju kesatuan dengan Tuhan, kita harus mengarahkan semua sifat-sifat kita ke arah Tuhan dan menyelaraskannya dengan kodrat Tuhan.
Tugas kita sebagai manusia adalah memilih jalan yang benar dan menyelaraskan sifat-sifat kita dengan sifat-sifat Tuhan. Ketika kita hidup sesuai dengan kodrat Tuhan, kita akan mengalami kehidupan yang bermakna dan memperoleh hasil yang positif. Namun, jika kita menolak kodrat Tuhan, kita akan menghadapi akibat yang buruk sebagai konsekuensi dari tindakan kita. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk menjalankan kehidupan yang sesuai dengan ajaran Tuhan.
Dalam perjalanan spiritual ini, kita diminta untuk mengintegrasikan sifat-sifat kita ke dalam kehendak Tuhan. Konsep “manunggaling kawula gusti” dalam ajaran Kejawen menggambarkan persatuan dan kesatuan antara manusia denganTuhan. Kita harus menyucikan jasad kita, yaitu mengisi tubuh kita dengan sifat-sifat Tuhan, melalui tahapan-tahapan berikut:
- Jasad dipandu oleh keutamaan budi: Jasad kita harus dipimpin oleh akal budi yang baik, sehingga kita dapat hidup dalam kesadaran yang benar dan mengambil tindakan yang bijaksana.
- Budi terhembus oleh hawa nafsu: Kehendak nafsu seringkali menggoda budi kita. Namun, kita harus mampu menahan dan mengendalikan hawa nafsu agar tidak menguasai pikiran dan tindakan kita.
- Nafsu diredam oleh kekuatan sukma sejati: Sukma adalah sumber kekuatan spiritual dalam diri kita. Ketika kita mampu mengarahkan nafsu kita dengan bijaksana, sukma sejati akan mengendalikan dan meredam kekuatan nafsu tersebut.
- Sukma diserap oleh rasa sejati: Rasa sejati adalah intuisi spiritual yang mengarahkan kita pada kebenaran dan kebijaksanaan. Ketika kita mengikuti rasa sejati, kita dapat memahami tujuan hidup kita dengan lebih jelas.
- Rasa luluh melebur dalam cahaya: Cahaya suci Tuhan menerangi hidup kita dan meluluhkan segala rasa yang negatif. Cahaya ini membawa pencerahan dan membantu kita mengatasi kegelapan dan kesulitan.
- Cahaya terpelihara oleh atma: Atma adalah energi kehidupan yang menggerakkan kita. Ketika kita menjaga dan mengarahkan energi kehidupan ini dengan bijaksana, cahaya Tuhan akan tetap bersinar dalam diri kita.
- Atma kembali ke Dzat: Dzat adalah Tuhan Yang Maha Abadi, sumber segala kehidupan. Ketika atma kita bersatu kembali dengan Dzat, kita mengalami persatuan dengan Tuhan dan merasakan kedamaian yang mendalam.
Dalam kesimpulannya, perjalanan spiritual kita adalah upaya untuk menyelaraskan diri dengan Tuhan melalui serangkaian tahapan. Dengan menjalankan kehidupan sesuai dengan ajaran Tuhan, kita dapat mengalami kehidupan yang lebih bermakna dan penuh kebahagiaan. Proses ini membutuhkan pengendalian diri, pengembangan kebijaksanaan, dan penghayatan nilai-nilai spiritual. Dengan kesungguhan dan upaya yang kuat, kita dapat mencapai persatuan dengan Tuhan dan mengalami kedamaian yang sejati.